![]() |
Motsach berdiri berhimpitan diantara bangunan-bangunan lain di sepanjang Jalan Edelweis. Dindingnya bewarna hijau tosca yang sedikit pudar. Bukan pudar karena dimakan usia, konon katanya tukang cat terlalu banyak mencampur air kedalam cat tembok saat mengecat toko buku sekaligus coffee shop itu. Namun warna itulah yang membuat Mostach berbeda dengan bangunan lain yang berdiri di sekitarnya karena menimbulkan kesan vintage.
Hanya dipisahkan oleh sebentang trotoar kecil, Motsach terletak persis di pinggir jalan raya. Pintu masuk Motsach terletak di bagian kanan bangunan, terbuat dari kayu Oak cokelat tua yang berderit ketika terbuka. Persis di sebelah pintu, terdapat display kaca yang dibuat khusus untuk memamerkan buku-buku terbitan terbaru. Sudah seminggu display buku Motsach dipenuhi oleh buku terbaru karya Evalline Susane, penulis pendatang baru yang terkenal dengan karyanya yang kontroversial, When the Moon Disappears. Berkaitan dengan itu, pemilik Motsach, Mr.Haegen, sangat terampil mengatur display buku. Dasar display ia lapisi dengan busa yang sengaja ia lubangi serawutan, tak lupa glitter abu-abu dan hitam yang ia sebar merata diatasnya. Sekilas, dasar display itu terlihat seperti kawah bulan yang berlubang. Langit-langit display juga tak kalah luput dari tangan terampil Mr.Haegen, ia menciptakan gantungan bola-bola sparkle yang dapat menyala dalam gelap sebagai kiasan bintang-bintang dilangit. Jika malam hari dan gorden display ditutup, pencahayaan display akan menunjukan visualisasi buku Evalline Susane: When the Moon Disappears. Maka tak sedikit orang yang menghentikan langkah mereka untuk mengagumi karya terampil Mr.Haegen.
Dinda membuka pintu Motsach, disusul derit kayu dan pantulan suara high heels Louboutin-nya yang berjalan menghentak lantai kayu. Motsach masih belum ramai siang itu. Toko buku hanya diisi lima orang berseragam sekolah yang berdiri berjajar di depan rak komik terbaru. Dinda lalu melanjutkan langkahnya, berjalan melewati rombongan anak sekolah itu dan berbelok setelah melewati rak novel. Ia menaiki tangga yang menuju ke lantai dua, tempat Motsach Coffee Shop, tempat favorit dimana ia sering menikmati waktu bersama Sella.
“Silakan…” Seorang pramusaji berusia dua puluh tahunan menyerahkan buku menu ketika Dinda duduk di sofa favoritnya. Motsach Coffee Shop berukuran tidak terlalu besar, namun ada spot favorit Dinda yang selalu ia tempati ketika berkunjung kesana. Spot dengan sofa oranye yang menghadap ke jendela kaca besar.
Tanpa membuka menu itu, Dinda langsung memesan menu kopi favoritnya, Ice Americano.
Segera setelah pramusaji meninggalkannya untuk membuatkan pesanan, Dinda menyulut sebatang rokok. Pandangan matanya menerawang melalui jendela kaca besar, mengalihkan pikirannya yang penuh dengan hal-hal yang harus ia sembunyikan. Kakinya kanannya tak kunjung berhenti menghentak-hentakkan lantai kayu, menimbulkan bunyi duk-duk pelan yang berima.
Lima belas detik sekali Dinda melirik ke bawah melalui jendela, mencari sosok Sella yang belum juga datang. Dalam hati kecil, Dinda berharap Sella tidak mengiyakan pertemuan ini atau mendadak tak jadi datang. Ia masih belum siap.
Drrrt. Ponsel Dinda bergetar, satu pesan masuk. Semoga Sella, gumamnya dalam hati.
“Gimana?”
Hanya ada satu kalimat tanya dari sedert nomor ponsel yang ia hapal. Dinda makin gugup. Hentakan kaki kanannya makin keras menderu lantai. Rokoknya sudah setengah habis dihisap oleh kegugupannya yang tak kunjung hilang.
Sella masih belum datang.
Lama, Dinda menatap layar ponselnya tanpa mengetahui apa yang harus ia lakukan terhadap pesan itu. Secangkir Ice Americano lalu datang membuyarkan lamunannya.
“Terima kasih.” Ucap Dinda singkat kepada si pramusaji yang dijawab dengan anggukan ringan. Ia lalu menyeruput sedikit Americano-nya.
Dinda kembali melirik jendela dan melihat sebuah Jazz biru merapat persis di belakang Yaris-nya. Dinda lalu menghisap rokoknya dalam-dalam dan mematikan jentik apinya ke dalam asbak yang ada di meja. This is it. This is the time.
Sella terlihat keluar dari mobil. Rambut hitam panjangnya ia gerai seperti biasa. Bahkan dari jarak sejauh ini, Dinda tahu kalau Sella tidak dalam keadaan baik-baik saja. Wajahnya pucat pasi, langkahnya gontai, tatapannya kosong, bahasa tubuhnya menunjukan bahwa perempuan itu sedang berada di titik batin terlemahnya, kondisi yang belum pernah ia temui selama dua belas tahun Dinda mengenalnya.
Dinda semakin gugup.
Pendingin ruangan yang terletak di sebelah jendela dekat tempat Dinda duduk seperti kehilangan fungsi. Pelipis Dinda mengeluarkan keringat lebih dari biasanya. Begitu pula dengan telapak tangannya yang terus basah walau berkali-kali ia memaparkan tangannya ke rok yang ia kenakan. Dinda lalu mengambil ponselnya dan mengetik pesan balasan dengan cepat.
“Aku belum siap, Armand.”
[2…]
Baca cerita sebelumnya di sini