Saya termasuk orang yang sangat jarang beli baju. Tapi, sekalinya beli pasti pilih yang benar-benar cocok dan ukurannya cukup. Suatu hari saya beli sebuah baju berwarna hitam putih. Bahannya bagus, enak dipakai, harganya masih lumayan bersahabat dan (yang paling penting) ukurannya pas. Baju itu hanya saya pakai sesekali. Tidak pernah saya pakai liputan karena takut bau matahari dan kumal. Dipakanya hanya ketika sedang main atau jalan dengan teman-teman.
Karena kostan saya ada fasilitas laundry, saya mempercayakan kebersihan semua baju saya kepada Mbak Kos, termasuk baju hitam-putih saya itu. Singkat cerita, baju favorit saya itu kelunturan. Gondok sampai ubun-ubun rasanya. Mau marah juga nggak balikin keadaan, mau beli lagi juga udah tanggal tua. Pokoknya saya cuma bisa pasrah. Hikmahnya, dari kejadian itu saya bertekad untuk mencuci pakaian yang ada warna putih saya di laundry kiloan.
Malam ini jadwal saya mengambil laundry kiloan. Total harganya Rp.10.500. Nota laundry sudah siap di tangan, bahkan ketika saya masih duduk di Grab Bike. Ya, liputan hari ini cukup menguas tenaga. Pulang naik ojeg pun rasanya senikmat naik limousin dan dipakaikan korsase di tangan ala-ala prom night di cerita Princess Diaries.
Setelah nota berpindah tangan ke Mbak Laundry, saya menyerahkan selembar lima puluhribuan.
“Ada 500?” tanyanya.
“Ada, sebentar.” Saya membuka tas dan mengeluarkan dompet.
Sebagai anak kos sejati, sejak tahun 2013 saya cenderung menyimpan uang receh 500 dan 1000 untuk ditabung di celengan Aqua 1 liter yang dilabeli tulisan “TABUNGAN”. Pertama, karena kalau dikumpulin jumlahnya bisa lumayan, dan kedua, uang-uang receh ini sangat berharga di tanggal tua (pengalaman). Jadi yang biasanya ada di dompet saya itu uang receh 100 dan 200-an.
Saya menyerahkan dua keping 200 dan sekeping 100-an pada Mbak Laundry.
“Itu uang 200, Mbak?” tanyanya sambil melirik tangan saya.
Saya mengangguk. “Iya, Mbak. Kenapa?”
“Kita nggak menerima uang 200, Mbak.”
“HAH?” nada saya mulai nggak nyantai. Kalau ada aqua 1 liter, udah saya pentungin ke kepala mbaknya. “Kenapa?”
“Pengunjung disini suka nggak mau, Mbak, kalau dikasih kembalian receh 200-an…”
“HAH?” saya mulai nggak nyantai lagi.
“Iya, Mbak. Mereka maunya yang koin 500. Makanya kalau dapat yang 200-an suka saya simpen dulu, terus saya tuker sendiri ke Carrefour. Saya jadi kerja dua kali, Mbak.” Jelasnya sambil mencari koin 500-an di laci kasirnya.
Saya masih mangap. Untung nggak ada lalat yang iseng hinggap.
“Ini serius, Mbak?” Saya masih nggak percaya. “Orang-orang nggak tahu apa ya kalau cari uang itu susah. 200 juga uang.”
Mbak Laundry hanya bisa diam sambil terus mencari koin 500-an.
“Orang-orang itu ya, Mbak,” lanjut saya “harusnya nggak mau nerima uang haram, bukan nggak mau nerima uang 200! Ini beneran mbak?”
Mbaknya tertawa. “Hahaha, iya, Mbak. Saya harus gimana lagi kalau pelanggannya nggak mau?”
Saya masih bengong.
Baju saya sudah dimasukan ke keresek hitam. Saya disodorkan kembalian 39.500. Dengan koin 500 yang (akhirnya) ditemukan Mbak Laundry di sela-sela kasirnya.
Saya mengambil keping 500 itu dan mengembalikannya.
“Tuker aja, Mbak. Saya mau yang keping 200 dan 100-an.”
“Beneran mbak?” kata Mbak Laundry setengah tak percaya.
“Iya, sama-sama uang ini. Makasih.”
Saya lalu keluar laundry.
Mobil, ojeg, orang-orang masih ramai berlalu-lalang di jalanan. Menyebrang di jalan selebar 3 meter sama sulitnya dengan menyebrang di jalan protokol. Ya, 21.45 WIB dan Pedurenan Masjid 2 masih bergejolak. Siang-malam sama-sama ramainya.
Dalam hati saya bergumam. Betapa naifnya kita, kami, masyarakat pendatang di Jakarta, menyesaki tempat terpadat di segitiga emas. Merelakan waktunya ditukar dengan pundi-pundi uang, yang untuk nominal tertentu malah dibuang.
Betapa kegemerlapan menghambarkan pemikiran.
Betapa kekuasaan mengontrol tindakan.
Betapa keberingasan meniadakan kepedulian.
Dan pada malam ini, saya tidak ingin jadi bagian dari Jakarta.