Kerlip bintang samar-samar tampak di langit utara. Warna langit kini menua, menghapus jejak senja dengan ciptaan-Nya yang juga luar biasa. Tak ada yang tidak mengagumi langit sore itu.
Dari kaca jendela Motsach, Travng dapat melihat segerombolan burung terbang membentuk siluet indah. Gerak kepak sayap mereka seperti kuas basah yang menggores sehamparan kanvas dengan lincah. Mereka terbang beriringan. Bebas, lepas, namun entah kemana. Mungkin suatu tempat di Cina Utara, atau malah kutub antariksa? Asalkan bersama, tidak ada masalah, bukan?
Travng menghela napas, Motsach makin ramai malam itu. Kelompok orang berdatangan mengisi sofa-sofa merah dan kursi-kursi kayu tua yang terdapat di ruangan dengan berbagai macam tujuan. Di salah satu sudut, terlihat segerombolan remaja sedang asyik mengetik sesuatu laptop-nya masing-masing. Di pojok lain, terlihat sepasang kekasih yang sedang bertatap mesra, mengkomunikasikan isi hati mereka dengan tatapan-tatapan yang sulit dipahami. Travng menatap sofa merah di hadapannya yang tidak berpenghuni. Lebih baik begini, ucapnya dalam hati.
Travng menyeruput mocchacino-nya. Piring salmon and chips-nya sudah diangkat dan diganti dengan sepiring salad dan segelas air putih yang kini tergeletak di sudut meja. Secangkir moccachino panas lalu datang. Alasannya untuk tak beranjak dari Motsach adalah dengan memesan banyak menu.
“Permisi, Pak” seru sebuah suara mengagetkan Travng. Ia lalu menoleh dan menemukan seorang pramusaji berbicara padanya dengan Bahasa Indonesia yang tidak ia mengerti. Ya, beberapa minggu di Indonesia Travng sudah menguasi beberapa kalimat singkat seperti ‘selamat pagi’, ‘apa kabar’, ‘terima kasih’, dan lain sebagainya.
Travng hanya bisa diam. Ia lalu menggeleng tanda tidak mengerti dengan apa yang baru saja pramusaji itu ucapkan. “Sorry, I can’t speak Bahasa Indonesia.”
“Ah,” si pramusaji itu menepuk keningnya. “Sorry, please wait a minute.” Ia lalu meninggalakan Travng yang terheran-heran di mejanya.
Tak berapa lama, si pramusaji kembali dengan seorang pria tua yang usianya kira-kira lima puluh tahun. Pak tua itu memakai setelan khas koki minus topinya. Rambutnya yang sedikit ikal terlihat memutih disana-sini. Perawakannya besar dengan perut yang menyesaki pakaiannya, namun raut wajahnya sangat ramah. Sepintas, Travng ingat dengan salah satu ikon perusahaan ayam goreng cepat saji ketika ia melihat pak tua itu.
“Hello, Sir.” Sapanya kemudian ketika ia sampai di meja Travng. “Kami khawatir kami kehabisan meja untuk pengunjung. Maukah anda berbagi meja dengan pengunjung lain?” jelasnya dengan Bahasa Inggris yang lancar dan berlogat. Sepertinya pak tua itu bukan penduduk Indonesia.
“Oh ya, tak apa.” Travng menangguk.
“Terima kasih atas pengertiannya.” Pak tua itu lalu tersenyum dan meninggalkan Travang seorang diri di kursinya.
Tak lama, seorang perempuan berjalan ke arahnya dan duduk tepat di hadapannya. “Maaf karena harus berbagi meja. Motsach selalu penuh di malam hari dan aku sedang butuh secangkir kopi. Hanya kopi dari Motsach yang selalu bisa membuatku berpikir waras. Anda tidak keberatan, kan?” ucap perempuan itu.
Travng hanya bisa diam. Ucapan perempuan itu ia tangkap sebagai sirene kereta api yang terdengar di tengah kota. Bising, cepat. “Sorry, I can’t speak Bahasa Indonesia,” ulangnya.
“Ah!” Kata perempuan itu sedikit berteriak yang membuat Travng kaget. “Maaf sekali, tadi saya bertanya, apakah anda keberatan untuk berbagi meja dengan saya karena Motsach sedang penuh dan saya sedang butuh kopi yang tersaji disini,” ucapnya dengan Bahasa Inggris yang fasih.
Travng mengangguk. “Ya, tak apa.”
“Dan maaf karena langsung membombardirmu dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Saya kira anda orang Indonesia. Wajah anda sangat… Asia.” Perempuan itu menurunkan intonasinya ketika mengucapkan kata terakhir. Matanya sedikit menunjukan penyesalan atas ucapannya yang spontan. “Maaf…” katanya kemudian.
“No problem. Saya memang orang Asia, dari Vietnam. Travng.” Travng menjulurkan tangannya.
Perempuan itu tersenyum dan menyambut uluran tangan Travng. “Sella.” Ia lalu mengeluarkan menu yang dari tadi ia bawa dan mulai membacanya satu persatu.
Travng mulai memperhatikan perempuan itu. Rambut hitamnya yang lebat panjang menjuntai hingga bawah bahunya, menutup muka mungilnya yang berbentuk oval. Alis tebalnya kadang menyatu ketika membaca daftar menu, mungkin ia sedang berpikir minuman apa yang akan ia pesan. Ia lalu memanggil pramusaji dan menjatuhkan pilihannya pada secangkir panas cinnamon coffee.
“Well, sudah lama di Indonesia?” tanya Sella ketika pramusaji beranjak pergi untuk membuatkan minuman pesanannya.
“Baru beberapa minggu.”
“Apa tujuanmu kesini? Perjalanan bisnis, atau?”
Travng menggeleng. “Tidak, hanya traveling.”
“Wow, dan kau memilih kota ini?” tanya Sella penasaran. “Maaf, aku hanya penasaran. Saat orang-orang Indonesia memilih untuk berlibur ke luar negeri karena bosan dengan negaranya, kau memilih untuk berlibur ke Indonesia. Aku hanya penasaran.”
“Hahaha,” Travng hanya tertawa mendengar pertanyaan Sella. “Indonesia adalah negara tujuan pertamaku. aku berencana keliling Asean dalam tahun ini.”
“Dan kau melakukan perjalanan ini sendirian?”
Travng mengangguk, “Yep.”
“Wow, kau gila!” mata Sella terbelalak kaget. “Dari dulu aku selalu berharap untuk menjadi seorang solo traveler sepertimu. Tapi kau tahu, itu hanya keinginanku saja, tidak pernah mulai aku wujudkan.”
“Kenapa tidak kau wujudkan saja?”
Sella sedikit terhentak dengan pertanyaan Travng. Pertanyaan mudah yang sulit dijawab. Menjawabnya hanya membawa kenangan-kenangan buruk yang terjadi beberapa bulan yang lalu. “Nah, aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku. Aku seorang workaholic. Hahaha.”
Pramusaji lalu datang, menyajikan secangkir cinamon coffee panas yang uapnya masih mengepul menyebarkan aroma kayu manis yang menggaruk tenggorokan.
“Apa yang membuatmu menyukai kopi di Motsach?” tanya Travng penasaran.
“Entahlah, resep rahasianya mungkin. Aku sering kesini sejak aku kuliah dulu. Kalau kau, apa yang membuatmu betah berlama-lama di Motsach?” Sella melirik piring salad yang masih ada di pojok meja.
“Aku suka suasananya. Nyaman.”
“Persis! Sekali datang ke Motsach, kau pasti akan ketagihan untuk datang keesokan hari dan keesokan harinya lagi.”
Obrolan mereka lalu berlanjut panjang. Diiringi petikan lagu John Mayer yang mengudara dari speaker yang ada di langit-langit, Travng mengetahui lebih banyak lagi tentang perempuan yang duduk di hadapannya ini. Kegilaannya pada kopi, candunya pada aroma tanah sehabis di guyur air hujan, kegiatan sehari-harinya yang kini dihabiskan dengan belajar bermain piano, dan seekor anak kucing jawa berbulu abu-abu yang baru saja ia adopsi dari pusat penampungan binatang liar.
Secangkir cinamon coffee juga menjadi pendamping Sella dalam menyelami dunia kecil Travng yang terlampau kompleks. Cita-citanya untuk menjelajah tiga puluh negara sebelum usianya empat puluh tahun, keahliannya membedakan beragam jenis teh hanya dengan menghirup aromanya, obsesinya untuk membuktikan bahwa sebenarnya belum pernah ada manusia yang mendarat di bulan, dan betapa ia sangat ingin bisa mengendarai pesawat terbang.
Lampu Motsach perlahan mulai meredup. Tak terasa tiga jam sudah mereka mengobrol.
“Ups, sepertinya Motsach mau tutup.” Ucap Sella.
“Ya, tiga jam berlalu hanya sekedipan mata, ya? Hahaha.” Travng melihat arlojinya lalu berdiri diikuti Sella.
“Yep, senang mengobrol denganmu, Mr. Travng.” Sella menjulurkan tangannya. Apa ini perpisahan? Apa kami tidak akan pernah bertemu lagi? Tanyanya dalam hati.
Travng menyambut uluran tangan Sella. Ia lalu menatap mata perempuan mungil itu. “Bagaimana kalau besok kita mengobrol lagi? Di sini pukul lima sore?”
Sella tersenyum, menyebabkan getaran aneh di rongga dada Travng yang dulu kosong.
“Matamu berwarna hazelnut.” jawabnya keluar dari topik. “Dari tadi aku sudah sadar tapi aku lupa apa warnanya. Ternyata hazelnut.”
Travng masih heran, kikuk dengan tangannya yang tak ingin melepas genggaman tangan Sella. Dan melalui tangan itu, mengalir udara hangat yang memercikkan sesuatu di perasaan mereka masing-masing.
[8…]
Baca cerita sebelumnya disini