Pak tua itu menyodorkan sebuah menu kearah Travng. Ia lalu mencatat sesuatu dan berjalan menuju dapur untuk membuat sendiri secangkir moccacino panas pesanan pelanggan barunya itu. Kadang, jika ia sedang luang, Haegen memang sering meluangkan waktunya untuk berinteraksi langsung dengan pengunjung Motsach. Tak jarang ia jugalah yang langsung turun tangan dalam membuat pesanan para pelanggannya.
Travng, nama yang unik. Mengobrol sekilas dengannya cukup untuk membangkitkan kenangan Haegen terhadap Vietnam. Beberapa tahun setelah Haegen menginjakan kakinya di Indonesia dan bisnisnya ini sudah mulai berjalan, ia sempat meninggalkan Indonesia untuk berlibur sekaligus mencari resep ke Vietnam. Another tropical island. Banyak tempat indah yang ia kunjungi disana, banyak orang yang ia temui disana, banyak obrolan yang mengalir disana. Karena itulah Motsach lahir, diilhami dari tujuan Haegen untuk memfasilitasi para kutu buku, mewadahinya dalam satu tempat nyaman, berisi, dan tentu, memanjakan perut. Bookwarm: Motsach.
Lima belas menit berlalu, moccacino panas sudah siap di dalam sebuah cangkir berwarna oranye. Asapnya yang ringan keluar dari coffee artwork bergambar kelinci hasil tangan kreatifnya, menyebarkan semerbak aroma kopi. Dengan hati-hati ia membawa cangkir itu keluar dapur.
“Silakan,” kata Haegen sambil menyodorkan moccacino-nya ke arah Travng. Terlihat di depan lelaki itu sudah ada teman perempuannya yang tadi diceritakannya.
“Sella, perkenalkan, ini adalah Mr.Haegen, pemilik Motsach.” ujar Travng.
Haegen sudah familiar dengan wajah perempuan itu. Ia juga salah satu pelanggannya.
“Sella.” Katanya sambil menjulurkan tangan yang disambut oleh Haegen.
“Baiklah, selamat menikmati hidangannya, Mr.Travng, saya akan kembali dan membawakan menu untuk Ms.Sella.” Haegen berbicara dengan bahasa inggris berlogatnya sambil tersenyum ramah. Ia lalu berjalan menuju dapur dan menghilang di balik pintu.