KEMATIAN — adalah tema ketiga saya dalam proyek #31harimenulis
Yang seperti apa baru bisa disebut mati?
Yang jasadnya terkulai dan tidak bernapas, atau yang pemikirannya berhenti dan hanya mengikuti arus?
Yang seperti apa baru bisa disebut mati?
Yang tidak bisa berpikir? atau yang berhenti berpikir?
Yang seperti apa baru bisa disebut mati?
Yang hatinya berhenti menghasilkan empedu, atau yang hatinya berhenti mengasihi?
Yang seperti apa baru bisa disebut mati?
Apakah sebenarnya kita sudah mati?
Jasad, pikiran, dan perasaan. Beberapa komponen yang menunjang eksistensi manusia dan serta merta mengukuhkan keber’ada’an manusia. Apakah kita (telah) hidup untuk memanfaatkannya?
Baru saja saya sedikit merenung, apakah saya sungguh ‘menghidupi’ komponen biologis dan psikologis yang saya miliki? Karena jari turut menari mendengar lantunan pemikiran, saya menganggap saya hidup. Tapi bagaimana keberadaan yang lain apabila keingintahuan dan pikiran berujung pada ketidakkonsistenan dan berhenti pada jalan buntu? Apakah itu masih bisa disebut hidup? Atau mati? Atau mati suri, karena (ternyata) hidup pun butuh spasi, ruang untuk hibernasi, jarak untuk mulai dari merangkak? Entahlah. Mari merenung dan bertanya pada batasan diri sendiri.
sedikit saran: renungkan dalam senja! ;D |