Sella menaiki anak tangga terakhir yang membawanya naik ke Mostach Coffee Shop. Ia celingukan memandang sekeliling ruangan mencari sosok Dinda. Tak lama kemudian matanya menangkap sosok perempuan dengan panjang rambut sebahu berwarna merah menyala: Dinda. Dengan langkah setengah diseret, Sella mendekati Dinda dan langsung menduduki kursi kosong di hadapannya. Persis ketika Sella duduk, Dinda meletakan ponsel dan menatap sahabatnya itu dengan tatapan takjub. Ia tidak lagi mengenalinya.
“Sorry to say, tapi sumpah, tampang lo ancur banget…”
Sella tersenyum hambar. “Ah, gue udah nggak peduli lagi, Din… Lo habis gerokok ya?” Sella memperhatikan asbak berisi puntung rokok yang tampak masih mengeluarkan sedikit asap.
“Iya, iseng.”
“Oh…” Sella mengangguk. Ia lupa kalau sahabatnya itu hanya merokok ketika ia dalam keadaan gelisah.
“Elo… baik-baik aja kan, Sell? Udah makan? Pesen makan dulu ya…” Dinda melambaikan tangan memanggil pramusaji. Yang ditawari malah asyik melamun, mengamati seorang anak kecil yang baru datang dari lantai bawah.
Anak lelaki itu berusia empat atau lima tahun. Rambut ikalnya yang gondrong bergoyang seiring dengan langkah riangnya yang kecil-kecil. Ayah anak itu berjalan tepat di belakangnya, sorot matanya tak lepas dari anaknya, mengawasinya seperti sorot mata elang yang memperhatikan calon mangsanya: tegas, fokus, dan tak terdistraksi. Anak kecil itu lalu mendekat ke sebuah sofa, ia melompat-lompat dan membuat rambut ikalnya bergoyang naik turun. Ayah anak itu lalu menggendong si anak lelaki dan menaruhnya duduk diatas sofa.
“Silakan.” Suara pramusaji yang menyodorkan menu mengalihkan perhatian Sella dari anak lelaki itu.
“Hot Moccacino satu…” Sella menjawab si pramusaji tanpa menerima buku menu. Salah tingkah, pramusaji itu menarik kembali menu yang ia sodorkan dan mencatat pesanan Sella. Ia lalu berlalu ke dapur.
“Makannya?” tanya Dinda.
Sella menggeleng. “Gue nggak laper…”
Dinda menyerah. “Iya deh, terserah lo.” Ia lalu kembali menatap layar ponselnya yang baru saja berkedip.
Mereka lalu diam. Jeda diam yang canggung dan terlalu lama untuk dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Pemecah keheningan yang ada diantara mereka hanya suara Regina Spektor yang mengalun lembut dari speaker yang terletak di sudut atas dinding Mostach. Tidak ada yang ingin memulai percakapan walaupun sebenarnya masing-masing dari mereka punya sesuatu untuk disampaikan. Sella dengan berjuta pertanyaan yang belum ada jawabannya, Dinda dengan sejuta penjelasan yang tidak ada akhirnya.
“Maaf ya…” Akhirnya Sella angkat bicara. “Kemarin malem gue bingung, nggak tau lagi mau cerita sama siapa…”
Dinda mengangguk.
Ia adalah orang pertama yang Sella hubungi setelah pertengkarannya dengan Armand. Pukul dua pagi itu Dinda masih berada di salah satu klub di Metropolis, menghabiskan malam dengan ikut larut dalam lantunan musik-musik pemecah gendang telinga. Pikirannya setengah sadar ketika Sella meneleponnya malam itu. Tapi untunglah alkohol yang merasuki sel darahnya masih kalah kuat dengan staminanya pagi itu. Melihat nama Sella tertera di layar ponselnya, Dinda tahu ada yang sedang tidak beres. Sekuat tenaga ia lalu mengangkat dirinya keluar klub dan menjawab panggilan telepon Sella.
“Armand benar ngomong gitu?” tanya Dinda dengan nada sedikit tidak percaya.
Benar saja, di ujung telepon Sella menangis. Napasnya tersengal, setiap kata yang ia ucapkan mengiris batin Dinda. Ia juga kenal Armand cukup lama. Cukup tahu kalau lelaki tinggi-atletis itu tidak akan pernah menyakiti hati perempuan manapun. Apalagi dengan sayatan kata-kata yang barusan diceritakan oleh Sella, istrinya.
Sella mengangguk. Terlalu sulit untuk menceritakan ulang tapi terlalu mudah untuk mengingat gambaran kejadian semalam yang kembali menghantuinya. Serpihan kaca vas bunga, telunjuk Armand yang tegas menunjuk-nunjuk Sella di depan matanya, garis urat yang tampak di pelipis Armand ketika ia berteriak, cincin pengikat janji setia mereka yang dengan mudah ia buang ke luar jendela…
“Dia ingin kami pisah… Armand udah nggak mau lagi nunda untuk punya baby. Sedangkan bulan depan gue udah harus berangkat ke Aussie buat S2. Dia pura-pura lupa kali sama rencana dan komitmen sebelum nikah kita untuk punya baby dua tahun lagi, setelah gue beres S2.” Sella berkata dengan nada yang berapi-api. Dua belas tahun mengenal Sella, Dinda cukup tahu kalau perempuan bermata besar ini tidak bisa menolerir orang yang menelan lagi kata-kata yang telah diucapkannya.
“Lo kenapa nggak ngikutin keinginan Armand?” pelan, Dinda memberanikan diri bertanya.
“Lah, kenapa Armand yang nggak mau nunggu dua tahun lagi?” Sella balik bertanya. “Ini udah kesepakatan kita sebelum nikah, Din. Dia udah sumpah bakal nunggu gue S2 dulu sebelum ngejalanin program baby, dan dia fine-fine aja.”
Duk-duk-duk-duk. Hak Louboutin Dinda makin cepat menghentak-hentak lantai kayu.
“Trus kenapa dia jadi berubah pikiran gitu?”
Sella menggeleng. “Nggak tau. Udah dari lima bulan ini gue ngerasa ada yang aneh di diri Armand. Dia jadi makin sewot kalau kita lagi ngomongin baby. Dia juga jadi makin pendiam. Gue tahu kantornya lagi ada masalah. Tapi tetep aja gue ngerasa ada yang hilang dari Armand yang gue kenal dulu… Terlalu banyak ‘kenapa’ di diri Armand yang nggak bisa gue jawab dan gue cari penyebabnya.”
Sella mengalihkan tatapannya ke ujung ruangan, kembali memandang si anak kecil beramut keriting yang kini sedang makan semangkuk es krim bersama ayahnya. Tak lama, pandangan matanya makin kabur, Sella tak lagi mampu menahan bendungan airmatanya. “Lo tau, gue bakal mengabulkan permintaannya…” ucapnya sambil terisak.
Dinda membelalak, kakinya tak lagi menghentak-hentak lantai. Ia tidak tahu Sella akan memutuskan menyerah pada pendiriannya secepat itu. Sella adalah orang dengan pendirian yang kuat, ia tahu itu. Tapi jika permasalahan sudah menyangkut Armand, mungkin Sella akan melakukan apa saja, termaksuk melepaskan obsesinya untuk belajar di negeri kanguru demi mewujudkan keinginan Armand untuk punya…
“… gue memutuskan untuk pisah.”
Dinda terhempas dari duduk tegaknya. Ia kehilangan kata-kata terhadap keputusan Sella, keputusan yang berlawanan dari apa yang dipikirkannya.
Sella mengusap kedua pipinya yang penuh dengan airmata dengan kedua tangannya. “Gue nyerah…”
Lalu mereka tidak berkata-kata untuk waktu yang cukup lama. Yang terdengar lagi-lagi hanya lirik lagu lirih yang keluar dari kotak pengeras suara…
“…Love is really nothing
But a dream that keeps waking me
For all of my trying
We still end up of dying
How can it be?”
“Itu… jaket Armand, kan?”
Sella mengangguk. “Juga hal terakhir tentangnya yang ada di diri gue.”
[3…]
Baca cerita sebelumnya di sini