Tolong jangan iri ketika aku ceritakan ini: Dia adalah perempuan yang memiliki kehidupan sempurna. Parasnya rupawan dan semua kebutuhan fisik yang tercukupi. Tak ada perempuan manapun yang meminta lebih dari itu kan?
Ketika aku pertamakali masuk ke rumahnya, aku terpana dengan taman rumahnya yang indah dengan pancuran air berhias patung dewi-dewi yang memegang kendi. Memasuki ruang tamunya, aku dikagetkan dengan tata ruang klasik ala Eropa yang mewah dan elegan. Dapur dan ruang makannya terletak lumayan jauh dari ruang tamu. Di dekat dapur, terdapat meja bar kecil. Disampingnya tertata rapi satu lemari anggur milik ayahnya.
Sampailah aku di kamarnya. Aku sudah hapal kondisi kamarnya yang selalu rapi. Setiap jam sembilan pagi dan sembilan malam, dua pembantu rumah tangga bergantian membersihkan ruangan yang didominasi warna pink ini. Ukuran kamarnya lumayan besar, mencakup satu lemari yang menempel di dinding kamar, satu lemari buku, satu lemari tempat mainan masa kecilnya, satu televisi 21inch dengan karaoke set, dan satu pintu yang menyambungkan kamarnya dengan kamar mandi ber-shower dan bathub.
“Lo duduk dulu aja ya, gue mau mandi dulu.” Serunya sambil menunjuk kasur. Ia lalu berjalan menuju kamar mandi. Sedetik kemudian ia bernyanyi sambil mandi. Ah, satu nilai plus lagi baginya. Suaranya sangat merdu.
Aku lalu mengeluarkan komik dari dalam tasku dan membacanya sambil tidur di kasurnya yang empuk. Enak sekali ya rasanya menjadi dia. Tiap hari bisa tidur di kasur empuk seperti ini. Kapan ya aku bisa punya kamar seperti ini? Ah, pikiranku melantur lagi kan! Jangankan bermimpi untuk memiliki kamar seperti ini, dapat uang untuk biaya makan dan menambal hidup di hari esok saja aku sudah bersyukur.
Sejurus kemudian, dia keluar dari kamar mandi.
“Jadwal manggung malem ini dimana?” tanyanya sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
“Ng…” aku mengeluarkan buku catatanku dari dalam tas, membolak-baliknya hingga menemukan halaman yang penuh dengan garis stabilo kuning. “Di desa sebelah, Put. Acara khitanan anaknya pak RT.”
“Ha, aneh banget. Acara khitanan anak-anak kok ngundang gue…” gumamnya.
Aku hanya bisa tersenyum. Dapet job itu harusnya di syukuri, bukan mengeluh seperti itu, gumamku dalam hati.
“Put, aku boleh tanya?” kataku memberanikan diri. Putri diam, dia tidak menjawab. Aku mengartikan diamnya Putri itu sebagai tanda mengiyakan. “Ng… kamu kenapa sih malah pengen kerja? Kamu kan udah hidup berkecukupan.. hehe, cuma nanya aja sih, Put.”
Putri menatapku lewat cermin didepan meja rias. Sambil membubuhkan foundation pada wajahnya ia menjawab, “Pengen aja. Daripada di rumah gue nggak ngapa-ngapain. Mendingan gue manggung. Seru. Gue suka atmosfir saat gue berada di atas panggung. Gue bebas bisa jadi siapa aja. Masalah duit, itu mah gampang. Lo tau sendiri kan setiap gue manggung gue selalu minta harga tinggi? Bukan masalah duitnya juga sih, lo juga tau kan duit hasil manggung semuanya utuh buat gaji lo. Ya… intinya gue manggung bukan buat nyari duitnya, tapi rasanya. Beda tau rasanya ketika lo berada di atas panggung…”
Aku hanya mengangguk-angguk. Pemikiran orang kaya memang sulit dimengerti. Buat apa mereka bekerja jika hidupnya sudah berkecukupan? Untuk masalah Putri misalnya, ia hanya perlu belajar bisnis untuk melanjutkan bisnis departement store milik ayahnya. Dan voila! Putri langsung mendapatkan kerja ketika lulus kuliah nanti. Beres kan?
Sedangkan aku? Aku hanya anak dari buruh tani yang kebetulan sekolah dan berada di satu kelas yang sama dengan Putri. Walaupun kami sekelas, tapi kami tidak saling kenal. Pertemuan kami terjadi ketika kami sama-sama berada di toilet perempuan, dan aku keceplosan memuji suaranya yang merdunya bukan main. Sejak saat itu, aku langsung direkrutnya menjadi manajer pribadinya. Lumayan, hasil dari pekerjaan ini bisa kutabung buat biaya kuliah nanti, karena mengandalkan uang beasiswa sekolah saja tidak cukup.
“Orangtua kamu tau kalau kamu kerja kayak gini?” tanyaku.
Putri tak langsung menjawab. Ia sibuk membubuhkan maskara di matanya yang kini sudah berwarna hijau gemerlapan. “Ya nggak lah. Mereka pulang ke rumah aja jarang, gimana bisa tau kegiatan gue coba? Lagian kalau mereka tau juga nggak apa-apa. Bodo amat. Mereka lebih mentingin bisnisnya.”
Aku diam dan berusaha mencerna kata-katanya, lalu kuberanikan diri bertanya lagi. “Trus, Put, kenapa mesti lagu dangdut sih?”
“Emang kenapa dengan dangdut? Ada yang salah?”
Aku menggeleng mantap.
“Nah. Yaudah, beres kan?” Kata Putri dengan nada meninggi. “Gue suka banget sama lagu dangdut, dan gue punya kemampuan buat nyanyiinnya. Nggak semua orang lho bisa nyanyi dangdut. Nyanyi dangdut itu butuh kemampuan yang tinggi. Dan gue bangga karena gue mampu nyanyiin lagu dangdut. Lah, bukannya lo sendiri yang bilang kalau suara gue emang dangdut banget ya?”
Untuk kedua kalinya aku mengangguk. Suara Putri memang bagus sekali. Sebut siapa saja nama penyanyi dangdut yang menurut kalian suaranya bagus. Kalikan tiga. Aku jamin, suara Putri lebih bagus! Jika diibaratkan penyanyi barat, Putri itu Beyonce-nya dangdut Indonesia!
“Saya si Putri, si Putri sinden panggung. Datang kemari, menurut panggilan anda…” Putri pun mulai menyanyi lagi favoritnya. Aku, sambil menunggunya selesai berdandan kembali terbenam dalam cerita komik yang kubaca tadi, diiringi suara merdu Putri.
***
Suasana rumah pak RT riuh. Halaman rumahnya yang tidak begitu luas, disulap menjadi panggung dadakan yang terkesan maksa. Entah kenapa Pak RT enggan menggunakan lapangan untuk panggung, dan malah memilih mengadakan pesta dangdutan khitanan anaknya di halaman rumah.
“Dik Sandra?” seru sebuah suara dari belakangku. Pak RT.
“Pak RT…” Aku menjabat uluran tangannya.
“Ah, Dik Putri..” dan bergantian menjabat tangan Putri. “Gimana, sudah siap?”
Putri mengangguk. “Ini nggak ganggu anak bapak kalau saya nyanyi disini?” tanyanya berusaha sopan,
Pak RT malah tertawa. “ Hahaha.. anak saya sudah saya ungsikan ke rumah neneknya. Sekarang waktunya pestanya bapak-bapak. Hahahaha..”
Putri menatapku. Kami memandang penuh arti tentang sikap pak RT ini: orang gila.
“Ayo Dik Putri, bisa dimulai sekarang..” pinta Pak RT sambil melirik jam tangan bermerknya. Jam sepuluh malam.
Putri mengangguk lalu berjalan kearah panggung, menghampiri organ tunggal yang telah disewa pak RT sebelumnya. Aku otomatis menjauh dari panggung, enggan berdesakan dengan penonton yang mulai berdatangan. Aku selalu hapal rutinitas Putri ketika manggung. Panggung pasti akan penuh dengan orang-orang yang berdesakan maju. Siapa yang tidak tergiur dengan penampilan Putri? Suaranya merdu, parasnya rupawan, perawakan semampai, dan tak luput goyangan dangdut yang menantang.
Setelah mendapat tempat duduk yang lumayan jauh dari kerumunan penonton, aku mulai menyaksikan Putri yang mulai beraksi. Dimulai dari menyapa penonton (yang kebanyakan adalah bapak-bapak dan pemuda desa.) Lalu dilanjutkan dengan lagu pertama, kedua, ketiga, yang berfungsi untuk mengumpulkan penonton. Di lagu keempat, Putri mulai unjuk goyangannya, disambut dengan tepuk tangan riuh dari penonton. Aku menatap wajahnya. Ia terlihat menikmatinya.
Lagu kelima pun didendangkan, beberapa penonton ikut bergoyang, malah ada yang nekat naik keatas panggung. Disusul dengan lagu keenam, penonton mulai liar. Panggung tidak berbentuk lagi. Penonton naik keatas panggung dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk Putri beraksi.
“Panggung ke panggung saya sering bergoyang. Suka dan duka terkadang saya rasakan.” Putri lalu merangkul pria yang ada di dekatnya dan bernyanyi di depannya. “Dari malam sampai pagi kulakonkan. Apalagi ada mas Joko tersayang. Rasa capek jadi hilang, semuanya karena kangmas.” Berhasil! Pria itu memberikan selembar uang kertas biru ke depan Putri yang langsung dikantongi di celana manik-maniknya.
Aku terus memperhatikan Putri menyanyi. Kini ia menghampiri Pak RT yang sudah “teler” diatas panggung. “Mata ngantuk hari gelap jadi terang. Karena kangmas tak putus kirim pesanan. Pesan cinta, pesan sayang. Tuk diri saya seorang..” Berhasil! Pak RT mengeluarkan selembar uang kertas pink dan menyodorkannya kearah Putri. Tak hanya itu saja Pak RT mengangkat tinggi-tinggi dua lembar uang kertas merah lain, melipatnya, lalu.. –EW! memberikannya ke Putri dengan cara yang jijik. Tapi tak ada reaksi galak, marah, ataupun memberontak dari Putri. Ia terlalu menikmatinya.
Aku melirik jam. Satu jam lagi Putri harus sudah selesai nyanyi. Ia harus pulang dan besok harus sekolah. Biarlah satu jam lagi ia menikmati dunianya yang lain. Dunia yang bahkan takkan bisa dibeli dengan semua harta yang dimilikinya.
Sebenarnya aku iba dengan Putri yang memiih untuk show dari panggung ke panggung. Padahal dengan semua uang yang dimilikinya, ia bisa dengan mudahnya masuk ke dunia musik dangdut Indonesia, lebih terkenal, dan lebih mahal bayarannya daripada panggung khitanan seperti ini. Tapi Putri adalah Putri. Ia tidak mencari keuntungan, ia hanya mencari kenikmatan, yang hanya bisa di dapatkan dari acara panggung ke panggung seperti ini. Iya kan, Put? Silakan bebas menjadi siapapun yang kamu mau, Put. Tinggal satu jam lagi!
“Saya si Putri, si Putri sinden panggung. Datang kemari, menurut panggilan anda. Pak Lurah tamu kehormatan. Bang mandor tamu istimewa, penonton saya suka anda, Mas Joko Tamu hati saya. Pak Lurah salam hormat saya, Bang Mandor salam thank you saya, penonton salam cinta saya, mas Joko salam segalanya… Saya si Putri, si Putri sinden panggung. Datang kemari, menurut panggilan anda….”