Aku membuka garasi depan rumah dan mengeluarkan etalase yang kusimpan didalam. Baru setelah itu aku mengambil tiga kardus yang berada di depan pagar, belanjaanku di pasar tadi pagi. Ketika aku sedang membuka sekardus besar jajanan anak-anak untuk ditaruh di etalase, istriku menghampiriku.
“Sudah bangun?” tanyaku sambil terus menata makanan-makanan kecil itu.
“Iya, Mas. Baru saja. Cuminya dapet, Mas?” tanyanya sambil beranjak mengambil belanjaan yang masih kutinggal di depan pagar. Tiga kantong plastik berisi sayur-mayur.
“Dapet kok. Itu ada di kantong yang warna biru.”
“Syukurlah. Pesanan Bu Bagyo ini, Mas. Moga-moga dia jadi sering beli di warung kita ya, Mas. Kan lumayan kalau kita dapet pelanggan tetap..” ujarnya sambil ikut menata sayur-mayur berderet di meja kayu.
Aku hanya tersenyum.
“Udah, Mas, kamu tidur saja dulu. Kamu tadi ke pasar dari jam tiga pagi kan? Sekarang sudah jam lima, kamu pasti capek..” ujarnya seraya merebut makanan kecil yang masih kutata.
Aku nurut. Kutinggalkan dua kerdus makanan kecil yang belum aku tata ke etalase. Dapat jaga Siskamling dan harus belanja ke pasar pukul tiga pagi membuatku terjaga semalaman. Perlahan aku menuju ruang tidur, menarik selimut, dan langsung terlelap.
***
“Anak-anak banyak yang dateng nyari permen ini mas.” Ujar Istriku ketika aku baru keluar rumah untuk melihat kondisi warung sederhana kami setelah empat jam aku tertidur pulas. Aku mengambil permen itu dari tangan istriku. “Permen apa ini?”
Aku memperhatikan bentuk permen itu. Tidak bulat, tidak juga pipih. Bentuknya hanya di bulat-bulat dan di tekan-tekan seadanya, seperti bentuk permen kemasan yang dibuat oleh pabrik rumahan. Permen itu hanya dilapisi oleh plastik bening yang dipilin di kedua ujungnya. Tidak ada merk, tidak ada tanggal produksi maupun kadaluarsanya.
“Aku juga nggak tahu, Mas.”
“Lho, terus dapet dari mana?”
“Tadi si Joko, anaknya Pak Umar nanya permen ini sambil ngeliatin ke saya, eh, permennya malah ketinggalan. Paling sebentar lagi dia kesini. Tadi warung rame banget, Mas. Anak-anak tetangga pada nyari permen ini.”
“Oh gitu ya.. besok pagi saya coba cari di pasar deh.”
Istriku tersenyum. Senyum yang lima bulan belakangan jarang terlihat. “Terimakasih ya, Mas.”
Aku mengangguk, lalu bergabung duduk disebelahnya. Mataku menerawang mengamati kondisi garasi rumah yang kini disulap menjadi warung sederhana. Seadanya. Istriku masih cermat memperhatikan permen itu. Warung masih sepi belum ada pengunjung. Aku masih berpikir kembali ke beberapa bulan silam. Dimana di garasi ini terdapat satu kijang kebanggaan kami berdua.
Kijang itu kini telah sirna. Dimangsa instansi gadai hanya untuk puluhan gepok uang seratusribuan. Penasaran? Mari kuceritakan secara singkat: Bisnisku bangkrut. Titik.
Aku kehilangan semuanya. Aku kehilangan ratusan juta yang digondol Si Bangsat, bawahanku yang tak tahu berterimakasih. Aku kehilangan satu ruko tempat bisnisku berjalan karena (lagi-lagi) ulah Si Bangsat yang menggadaikan sertifikatnya tanpa sepengetahuanku. Aku kehilangan si Kijang, yang terpaksa kugadaikan untuk menambal biaya hidup sehari-hari. Dan aku kehilangan senyum bahagia istriku. Itu yang paling membuatku nelangsa. Bangsat!
Perlahan, akupun mulai bangkit. Aku kepala keluarga dalam “negara” kecil ini. Aku harus bangkit. Dan inilah hasilnya, menyulap garasi rumah menjadi warung kecil yang sederhana. “Hidup itu seperti roda, selalu berputar. Mungkin kamu sekarang sedang ada di bawah. Yang sabar aja..” ucap setiap orang yang kutemui dan mengetahui masalahku. Ya, sekarang roda sudah mulai digerakkan lagi, teman!
***
Tepat jam tiga dini hari aku terbangun. Tanpa nyanyian weker, tanpa dibangunkan istriku. Semenjak rutin berbelanja untuk kebutuhan warung, mataku selalu terbuka lebar setiap pukul tiga pagi. Entah kenapa.
Aku lalu bergegas ke pasar. Jangan kira hidup belum dimulai sebelum matahari muncul. Buktinya, kondisi pasar pagi ini ramai dengan lontangan tawar menawar antara penjual dan pembeli. Padahal untuk melihat saja masih dibutuhkan bantuan lampu-lampu teplok kecil, tapi orang-orang tampak bersemangat untuk mendapatkan harga termurah.
Aku mengunjungi pedagang langganan dan langsung mengambil barang pesanan yang sama setiap hari: satu kilo kol, tiga kilo wortel, kentang, bawang merah, bawang putih, cabai, beberapa ikat kangkung, bayam, bumbu dapur, dan lain-lain. Setelah tanganku penuh dengan barang belanjaan, aku langsung menuju angkot yang telah kusewa khusus setiap pagi untuk mengangkut barang-barang.
“Sudah selesai, Pak?” ujar pak supir setelah membantuku memasukan kardus terakhir kedalam angkotnya. Tiba-tiba aku teringat permen yang dibicarakan istriku kemarin.
“Belum, sebentar, ada yang lupa saya beli.”
Aku bergegas menyusuri pasar menuju tempat dimana aku biasa membeli jajanan anak. Toko ke toko aku hampiri tapi hasilnya nihil. Ketidaktahuanku akan identitas permen itu, merk, rasa, bahkan bentuknya, membuatku makin sulit berbahasa dengan para penjajal makanan anak.
“Itu lho, Ko, permen favorit anak-anak. Nggak ada namanya, cuma dibungkus plastik bening dan di plintir-plintir.” Aku menjelaskan ke pemili toko entah untuk yang ke berapa kalinya.
Pemilik toko itu terdiam. Matanya menatap langit-langit kiosnya yang lusuh. “Kayaknya Oe pernah jual yang kayak gitu… bentar, Oe panggil dulu anak buah Oe bekas buruh pabrik Lu olang tunggu disini aja, nggak usah kemana-mana…” Ia lalu meninggalkanku sendirian di bibir pintu toko. Aku melirik jam. Setengah lima. Aku diburu waktu.
“Pak..” bahuku ditepuk, seorang pemuda berusia sekitar dua puluhan menatapku. “Saya tahu permen yang bapak cari..”
Bayangkan perasaan senang ketika: melihat raut wajah istriku yang gembira, si Kijang yang kembali ke pangkuan, Si Bangsat yang mati tergiling truk. Kalikan tiga. Pemuda itu datang bagai hujan dalam kemarau.
“Anda tahu? Dimana?”
“Ikuti saya…”
Aku mengikuti perintahnya. Kami berjalan hanya sejauh tiga toko disamping toko yang terakhir kukunjungi hingga tiba di sebuah toko yang lebih kecil. Lebih padat tepatnya, terlalu banyak makanan dalam toko ini.
Pemuda itu lalu masuk dan kembali dengan membawa sebungkus permen. Permen yang kucari. “Yang kayak gini kan?”
Aku mengangguk.
“Berapa banyak?”
Aku mengeluarkan dompet dan memberikan dua lembar uang seratus ribu.
***
Tiga kilogram permen ludes dilahap gigi-gigi mungil itu dalam waktu delapan jam sejak warungku buka. Hanya delapan jam! Sejak saat itu kuputuskan untuk rutin membeli permen itu setiap kali berbelanja ke pasar.
Kini pelanggan warung kami bukan hanya Bu Bagyo dengan aneka seafood pesanannya. Tapi anak-anak. Permen selalu cepat habis. Selalu.
***
“Nih saya bonusin..” kata pemuda itu seraya menyerahkan satu kantong plastik kecil permen dengan merk sama yang aku beli sebanyak lima kilo: permen tanpa merk. Entah ini transaksi yang ke berapa. Sudah lima bulan aku selalu membeli permen tanpa merk itu disini. Dan kadang, dalam sehari aku bisa lebih dari sekali mengunjungi tempat ini.
“Hahaha, terimakasih lho.” Aku tergelak menerima pemberiannya. “Saya heran deh, kenapa ya permen ini bisa laris? Padahal merknya aja nggak ada.”
“Anda mau tahu?”
Aku mengangguk.
“Sini ikuti saya.”
Untuk kali pertama, aku diajak masuk kedalam toko sempit itu. Ternyata toko itu tingkat. Lantai dua, seperti yang pernah kuduga, digunakan sebagai pabrik permen kecil-kecilan. Hasil permen yang telah dimasak di dapur, dibawa ke lantai dua untuk dibentuk, dipotong, dan di bungkus.
“Anda bisa jaga rahasia kan? Tapi ini sudah bukan rahasia lagi sih. Ini apa yang orang-orang sebut rahasia umum. Semua orang sudah tahu. Karena anda pelanggan saya, jadi saya kasih tahu..” ia lalu tergelak hingga batuk-batuk. Heboh. Entah apa yang lucu, aku semakin tidak mengerti.
Dibuatnya aku penasaran. Apa yang aneh dari kegiatan memproduksi permen ini?
“Anda lihat bungkusan pewarna disana?”
Aku menatap arah telunjuknya. Ya, di pojok sana aku melihat selusin pewarna aneka warna. Apa yang aneh dari hal itu?
“Itulah yang membuat permen ini begitu laris. Itu sumber dari pundi-pundi keuangan saya! Hahahahaha” dan ia kembali tergelak.
Aku penasaran dan mendekalti pewarna itu. Pewarna itu terdiri dari satu lusin plastik ukuran satu kilo yang ditumpuk. Merah, kuning, hijau…. tungggu, ada yang tertulis di setiap plastiknya. Kubaca tulisannya dan aku tercekat hingga menjatuhkan kantong-kantong permen yang kubawa. Inilah yang selama ini aku lakukan.
Semua plastik tertulis satu kata yang sama.
WANTEX.