Entah kejutan apalagi yang ada di depan mata. Beberapa kejadian di 3 bulan terakhir ini sungguh membuat saya geleng-geleng kepala, antara takjub, heran, dan sedikit perasaan lega. Lagi, entah untuk yang keberapa kalinya, Sang Pemilik Hati kembali menolak-balikan akal dan pikiran saya untuk memahami lebih dalam apa makna dari kata “ikhlas”.
(Baca juga: 3 Bulan yang Menyenangkan)
Entah berapa nikmat-Nya yang telah diberikan dan membuat saya takabur: nikmat sehat diri sendiri, nikmat sehat baby D (iya sekarang manggilnya baby D karena kalau diterusin Baby Sherlock bisa mengundang kericuhan 4 elemen bumi (dan keluarga) lalu negara api menyerang dan ladang gandum akan dibasahi cokelat dan tercipalah choco crunch!), dan masih banyak nikmat lainnya.
Tapi namanya juga hidup (apaan sih klise banget) mengikhlaskan adalah seni dan itu sulit sekali dilakukan apalagi ketika saya mulai memikirkan berbagai macam daftar kemungkinan kenapa ini semua bisa terjadi.
Tepat di 6 bulan kehamilan, saya memutuskan untuk pindah ke Malang. Menjauhi ibukota beserta love-hate relationship-nya. Dari dulu saya emang nggak pernah terpikir mau berkeluarga, tinggal, dan menetap disana, tapi meninggalkannya secepat ini juga bukan opsi pertama.
Dari kehidupan yang serba taktis, terencana, dan berasumsi pada angka, kini saya seperti memiliki lubang mengaga, persis seperti Patrick yang sedang ngowoh (?).
Patrick lagi ngowoh |
Hahaha, hidup kadang selucu itu. Punya pemikiran yang cenderung lebih skeptis terhadap banyak hal kadang membuat saya berasumsi macam-macam, padahal menjalani saja belum.
Konon ada yang pernah bilang, musuh terbesar dalam hidupmu adalah diri kamu sendiri.
How come? I always enjoy being myself. But then I realize that my overthinking swallows me. I frame my idea as a question, blame myself a lot, act like my accomplishment is not a big deal, and the worst, sometimes I feel like I deserve all of the bad things that happened to me (reference).
Hal-hal itulah yang kadang membuat saya berpikir, apa ini semua cukup? Apalagi yang bisa saya lakukan untuk menjadi lebih baik?
But this event makes me think that I am me, and I have fully control of myself. That there’s always a powerful lesson to be learn through experience. Let me in this moment, try to understand and learn the power of Ikhlas.
Gambar bunga-bunga biar adem. |
Lalu adalah sebuah tamparan keras ketika mengingat saya masih punya keluarga, teman, suami, bahkan baby D yang sayang dan peduli dengan saya. Ketika yang dibutuhkan hanyalah waktu, saya sekarang punya banyak yang bisa diisi dengan hal-hal yang selama ini tertunda saya lakukan.
Prioritas yang kembali di-set, dan goals yang kembali dibuat dengan beberapa penyesuaian. Memang asik ya, menjadi muda (?) dan merencanakan banyak hal! 😉
Young, Wild, and Free! |
Anyway, di bulan ke-6 ini perkembangan Baby D sangat positif mengingat kegalauan yang dialami emaknya. Masih aktif menendang, berputar, dan makan apapun dengan lahap (kecuali seafood dan kopi tentunya, padahal emaknya kangen kopi banget! :().
Kalau kata buku-buku seputar kehamilan sih baik ibu maupun ayah harus sering memberikan afirmasi positif pada anak semenjak dalam kandungan, lha ini kok kayaknya kebalik ya, malah Baby D yang sering banget ngasih afirmasi positif ke saya melalui setiap perkembangannya. Mengingatkan saya untuk ikhlas, selalu bersyukur, dan menikmati setiap momen yang sedang terjadi.
Ternyata ini yang namanya jatuh cinta bahkan sebelum pernah ketemu. :’)
Jadi nggak sabar buat cepet ketemu! 😀