Lelaki itu hanya bisa menatap Dinda dalam diam. Terlalu banyak penjelasan dalam air mata kekasihnya yang bisa ia tangkap.
“Udah dong…” Lelaki itu berusaha menenangkan Dinda.
“Kenapa kita kayak gini sih? Kenapa kita terlalu berani?” tanya Dinda.
Lelaki itu kembali memutuskan untuk menutup mulutnya, membiarkan Dinda menyelesaikan tangisannya mungkin jalan keluar terbaik sebelum mereka berdiskusi lebih lanjut.
Dan mereka kembali dalam jeda diam yang cukup lama…
***
Sella memarkirkan mobilnya di garasi, ia lalu menuju kamar tidur, tanpa berganti baju ia langsung merebahkan badannya di kasur. Ia benar-benar tidak peduli dengan kondisi rumahnya yang berantakan bak kapal pecah. Untuk apa peduli? Toh pikirannya juga sedang sama berantakannya.
Lelah bersembunyi di balik selimut cukup lama, Sella menurunkan selimut yang menutupi tubuhnya sampai batas hidung dan memandang sekaliling kamarnya, well, kamarnya dan Armand. Ia butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Pikirannya menolak untuk beristirahat setelah apa yang ia alami hari ini, entahlah, terkadang tubuhmu memberontak untuk beristirahat ketika kamu benar-benar lelah.
Ia memandang setumpuk buku yang tergeletak di meja kecil disamping tempat tidur: The Casual Vacancy, Bumi Manusia, Senja di Jakarta, Ingo… tidak ada yang menarik perhatiannya. Ia lalu hampir memutuskan untuk menonton televisi, tapi, kotak ajaib itu adalah hal terakhir yang akan dilakukannya untuk mendapatkan hiburan. Sella benci menonton televisi. Tanpa tujuan, Sella akhirnya memutuskan untuk naik ke lantai dua rumahnya.
Rumah Sella (dan Armand) bukan termaksuk tipe rumah minimalis yang desain-desainnya kerap di temui di pusat kota. Rumahnya terletak di ujung kota, perumahan sederhana yang nyaman dan lumayan asri karena masih jauh dari asap polusi pabrik dan kendaraan. Berada di dataran tinggi, rumah Sella (dan Armand) terletak tepat di depan perbukitan. Di kala akhir pekan, tak jarang Sella dan Armand menikmati waktunya dengan berjalan-jalan ke bukit, menghitung jumlah tenda murid-murid SMA yang sedang melakukan camping disana. Sella selalu menyukai angka genap. Kalau jumlah tenda yang mereka hitung genap, Armand akan mengajaknya ke Mostach, mentraktirnya bergelas-gelas es krim sampai ia kekenayangan dan tidak makan sampai siang keesokan harinya. Namun jika jumlah tenda yang mereka hitung ganjil, giliran Sella yang akan mentraktir Armand sebaskom es krim.
Armand lagi. Seluruh detail ruangan di rumah ini mengingatkannya pada Armand.
Sella menaiki anak tangga terakhir dan mendapati lantai dua rumahnya tidak begitu berantakan dibandingkan lantai bawah. Ia lalu masuk ke ruang kerja Armand. Sebenarnya tidak sepenuhnya ruang kerja Armand, ruang itu juga merangkap sebagai ruang kreasi Sella. Selain mahir di dunia digital marketing, Sella juga berbakat dalam bidang seni. Di ruang kreasi, Sella menyimpan beberapa lukisan dan kreasi rajutannya. Ruangan seluas empat kali enam itu nampak nyaman dan cozy. Siapapun yang masuk ke ruangan ini pasti akan betah berlama-lama didalamnya.
Sella duduk di sebuah kursi kayu berbantal yang empuk. Ia memandang sekitar dan tiba-tiba merasakan atmosfer aneh: ia rindu kehadiran Armand. Matanya menyapu sekeliling ruangan: ruangan itu bernuansa alam, dengan cat tembok berwarna putih tulang di dua sisi, dan dua sisi lainnya yang berupa deretan batu bata berlapis cat transparan yang menimbulkan kesan natural. Lukisan Sella berderet tak beraturan menghiasi dinding-dinding itu, disambut dengan kumpulan foto-foto Sella dan Armand yang dibingkai kayu berukir yang indah. Foto itu merangkum perjalanan kisah mereka.
Pandangan Sella lalu beralih ke laptop Armand. Apalah yang lebih baik sebagai penghilang stress selain belanja? pikirnya. Ia hendak membuka beberapa website sepatu dan pakaian langganannya sebelum sebuah notifikasi email masuk ke laptop itu. Dari Dinda. Sella meng-klik pesan itu. Laptop ini masih tersambung dengan akun email Armand, kenapa ada pesan dari Dinda? tanyanya penasaran.
Click.
Sella membaca email itu, email sebelumnya, belasan email sebelumnya, puluhan email sebelumnya, ratusan email sebelumnya, dan keseluruhan inbox emailnya yang didominasi oleh satu orang: Dinda.
Kini Sella tahu alasan Armand meninggalkannya.
Perlahan, airmatanya mulai menetes lagi.
Kini, lebih deras dari sebelumnya.
***
… Jeda itu terputus dengan pertanyaan singkat Dinda.
“Aku harus gimana, Armand?”
Lelaki di depannya itu termangu. Kata-katanya membeku, pikirannya terbungkam oleh keputusan yang terlanjur ia buat.
“Kamu ikut aku.” Katanya singkat.
[5…]
Baca cerita sebelumnya disini.