Gloomy heart, gloomy soul, oh, when will you go away?
Rain falls, traffic jam, and a lullaby from the radio.
This kind of thought just popped out suddenly after yesterday’s gloomy attack my day. It’s hard, guys, to be surrounded by toxic atmosphere when you fight to not get contaminated. *inhale-exhale*
Beberapa tahun lalu, waktu awal banget merintis ( ( m e r i n t i s ) ) karir jadi jurnalis, saya ngerasa hidup itu kayak lagi naik roller coaster tiap hari. Deg-degan parah coy, jantung rasanya mau jatuh nyess gitu. Ya gimana nggak, masih clumsy, nggak tahu apa-apa dan banyak kena marah.
Suatu waktu pernah saya dan teman-teman kena damprat pimpinan karena alasan yang saya lupa apa. Jadi ceritanya kami dikumpulkan di satu ruangan ketika evaluasi, lalu dibombardir pertanyaan satu-satu. Per orang benar-benar seperti diinterograsi. Ditanya dari A-Z, mulai dari isu-isu terkini, kritik kami terhadap isu tersebut, plan liputan kedepan, pitching risetan, sampai jadwal kami yang literally diberedel per jam, iya, PER JAM, dari bangun tidur sampai tidur lagi per harinya gimana. Semuanya hanya untuk mendapatkan kalkulasi manajemen waktu, manajemen liputan, dan bukti kalau tidak ada kalimat “tidak bisa” alias pulang liputan HARUS mendapatkan berita.
Kami sedih, tentu, bukan hanya karena fisik yang lelah seharian mengitari ibukota, tapi juga pikiran yang ditempa tuntutan yang menurut kami tidak masuk akal. Sama sekali tidak ada kompromi, yang ada hanya jawaban “siap, siap”. Antara penurut atau tidak lagi punya tenaga untuk membantah, kami tidak peduli. Yang penting hari itu harus dapat berita.
Nggak lama, pimpinan saya itu kembali mengumpulkan kami. Dengan suasana hati yang berbeda tentu, dia menjelaskan kenapa kami diperlakukan seperti itu.
Sebagai pemimpin, dia merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap kami dan juga perusahaan. Dia ingin membentuk kami menjadi pribadi tangguh dan kritis. Menghadapi Jakarta bukan hanya soal ikut hanyut dalam arus, ucapnya. Tapi juga menciptakan pandangan baru dari keseragaman sudut pandang yang sudah ada. Lemah dan ribuan alasan berleha-leha juga bukan jalan keluar. Maka setiap waktu adalah berharga, yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.
Lalu, tambahnya, mengurusi kami juga soal mempertaruhkan rezeki. Menyelami diri kami satu persatu adalah tanggung jawab yang sulit untuk dia emban. Karena selain melelahkan, ada pula beban moral dalam bentuk laporan kinerja individu yang harus ia nilai seadil mungkin. Tak mau fana dengan definisi adil, maka menginvestigasi kami jadi jalan keluarnya. Ia tak mau salah menilai, apalagi hanya mendengar hasil kerja dari pihak ketiga tanpa konfirmasi langsung ke kami. It’s a big NO, once she said. “Kenapa sampai seribet itu?” Dia bertanya. Karena nilai yang fair akan berimbas pada reward yang kami terima. Bonus dalam bentuk materi adalah rezeki kami, HAK yang sepatutnya diberikan sebagai upah atas segala kerja keras. Dia sama sekali tidak mau bersinggungan, atau buruknya mendzholimi apa yang sudah menjadi hak kami. Maka penilaian akan dibuat seadil-adilnya melalui sistem yang ia takar, salah satunya, dengan “memreteli” kami.
As times goes by, saya merasa pemikirannya masuk akal. Tidak semua orang, atau tidak semua pemimpin, memiliki dasar pemikiran yang sama. Fana prerogatif pelan-pelan akan terwujud jika tidak ada yang bersuara, atau berusaha menggapai haknya dalam sebuah ketidakpastian sistem.
Seperti melihat kaleidoskop yang membingungkan, pun kiranya sendu ini cepat diadu keriangan, lalu tumbuh menjadi derap berpacu, terus, lari, kencang dalam rima.
Semoga.
Nggak lama, pimpinan saya itu kembali mengumpulkan kami. Dengan suasana hati yang berbeda tentu, dia menjelaskan kenapa kami diperlakukan seperti itu.
Sebagai pemimpin, dia merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap kami dan juga perusahaan. Dia ingin membentuk kami menjadi pribadi tangguh dan kritis. Menghadapi Jakarta bukan hanya soal ikut hanyut dalam arus, ucapnya. Tapi juga menciptakan pandangan baru dari keseragaman sudut pandang yang sudah ada. Lemah dan ribuan alasan berleha-leha juga bukan jalan keluar. Maka setiap waktu adalah berharga, yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.
Lalu, tambahnya, mengurusi kami juga soal mempertaruhkan rezeki. Menyelami diri kami satu persatu adalah tanggung jawab yang sulit untuk dia emban. Karena selain melelahkan, ada pula beban moral dalam bentuk laporan kinerja individu yang harus ia nilai seadil mungkin. Tak mau fana dengan definisi adil, maka menginvestigasi kami jadi jalan keluarnya. Ia tak mau salah menilai, apalagi hanya mendengar hasil kerja dari pihak ketiga tanpa konfirmasi langsung ke kami. It’s a big NO, once she said. “Kenapa sampai seribet itu?” Dia bertanya. Karena nilai yang fair akan berimbas pada reward yang kami terima. Bonus dalam bentuk materi adalah rezeki kami, HAK yang sepatutnya diberikan sebagai upah atas segala kerja keras. Dia sama sekali tidak mau bersinggungan, atau buruknya mendzholimi apa yang sudah menjadi hak kami. Maka penilaian akan dibuat seadil-adilnya melalui sistem yang ia takar, salah satunya, dengan “memreteli” kami.
As times goes by, saya merasa pemikirannya masuk akal. Tidak semua orang, atau tidak semua pemimpin, memiliki dasar pemikiran yang sama. Fana prerogatif pelan-pelan akan terwujud jika tidak ada yang bersuara, atau berusaha menggapai haknya dalam sebuah ketidakpastian sistem.
Seperti melihat kaleidoskop yang membingungkan, pun kiranya sendu ini cepat diadu keriangan, lalu tumbuh menjadi derap berpacu, terus, lari, kencang dalam rima.
Semoga.
suka sama tulisannya menarik banget. aku pun sempet tertarik sama bidang jurnalistik sampe hampir masuk pers mahasiswa di kampus tapi satu dan lain hal aku ga jadi ikutan training padahal udah mau training diminggu itu juga. dari situ juga aku mulai aktif lagi ngeblog setelah vakum bertahun2 meskipun dengan niche beauty kareba mostly postingan aku mengenai perbeautyan wkwk
tulisannya nice nih, creative writers banget, dan iya setuju, yang aku tau seorang leader atau pemimpin emang harus memikirkan bawahannya atau rakyat mereka sebaik-baik mungkin
Padahal kalau saya naik roller coaster, pusingnya sampai berhari-hari gak ilang.
# Well noted: tidak semua orang, ta terkecuali seorang pemimpin, memiliki dasar pemikiran yang sama. Pemikiran setiap orang akan berbeda-beda, banyak variabel yang mempengaruhinya, salah satunya subyektifitas yang sedikit banyak memberikan warna.
Paling ngga enak emang dalam posisi mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.. jika upaya untuk mendapatkan hak tidak berhasil, maka kita harus yakin dengan kekuatan doa, yang dzalim akan mendapatkan perlakukan yang sama.. maka berbuat baiklah selalu
Wow pimpinan yang sebenarnya care atas hak bawahannya tapi juga tegas ya.. suka deh baca tulisannya, lanjutkan yaaa
berat banget mba bahasanya. heheh
ternyata sekejam itu yah, aku liat di tv happy happy aja, ternyata dibalik itu semua ada yang bekerja keras banget buat ngasilin sebuah berita
Kadang suka kesel sama orang yang bilang, "Enak ya jadi bos bisa nyuruh-nyuruh"
Well iya, kerjaan bos memang nyuruh-nyuruh, tapi bos (yang nggenah) itu ya tahu kalau dia bertanggung jawab sama jalur rejekinya orang lain, which is anak buahnya.
Kadang-kadang, si anak buah itu suka lupa pepatah "anak polah, bapak kepradah", dia yang bertingkah, si 'bapak' yang harus ngepel hasil tingkah polahnya dia. Udah gitu masih aja diomongin yang enggak-enggak.
Coba dia yang disuruh memimpin…baru tau rasa.
Sebenarnya apa yang kita dapat dari pimpinan kita selama kita bisa mencerna dengan kepala dingin dan open mind pasti ada aja nilai positifnya. Memang sih kadang hal itu baru disadari 1-2 tahun kemudian, atau bahkan ketika kita ternyata berada di posisi yang lain.
Huaaahh, baca ini jadi berasa nostalgila dong, mbaa. Inget banget, pas masih jadi reporter dulu, pasti deh tiap malam (padahal baru sampe rumah jam 11) udah di telpon buat meeting dan briefing singkat buat agenda liputan besok. Duh, rasanya mumen plus stress banget, tapi enjoynya punya banyak teman lapangan yang gokil. Jadi gak berasa push-nya, hihi. Huaahh, jadi kangen.
Ah, kalau bicara masalah pekerjaan memang ngga ada habisnya ya, ada aja yang jadi topik pembicaraan. Dari tulisan ini juga aku sadar, ternyata dunia kerja di lingkungan manapun, sama aja. Setiap pekerjaan pasti ada suka duka nya tersendiri.
Tuntutannya banyak sekali jadi jurnalis kantoran..ga heran pada pintarmemanage waktu dan pintar dalam menulis
Jadi pimpinan emang gak cuma enaknya aja ya mbak tapi ada risiko gak enaknya.
Untung mbaknya bisa paham mengapa pimpinannya kek gtu krn udah jd tugas sekaligus supaya penilaiannya adil dan gak ngaco ya…
Wah akhirnya resign ya…
Kebetulan dunia jurnalistik gak asing buatku, emang rasanya, keliatannya, cukup berat ya.
Kebetulan suamiku juga jurnalis. Hecticnya jurnalis bukan main, mulai bangum tidur dan sampai tidur lagi selalu dituntut kritis, kreativ membuat issue, dan tentunya selalu objektif lihat fakta. Kalau memang ada leader seperti itu, mungkin benar supaya SDM nya bisa tangguh di segala medan
Wah barakallah mom. Senangnya bisa merasakan kerja jsdi jurnalistik yaah. Yang berjuang di Lapangan. Salut sama para jurnalis. Sama atasan Mbak juga 🙂
Wah, Aku juga pernah tertarik nih dengan Dunia jurnalistik. Tapi saat itu kurang direstui orang tua. Katanya takut ada tekanan dari sana sini. Apalagi jika bersinggungan dengan politik. Takut gitu ortu kalo saya bakal kenapa-kenapa.
wah seru bgt kehidupan jurnalis.. aku udah kebayang sih gimana ribetnya setiap hari.. udah kayak dikejar2 tukang tagih utang kyknya ya mbak haha..
Ini kebayang banget deh, secara aku terakhir ini kerja di media sudah 12,5tahun. Suka jadi tempat curhat para wartawan, apalagi kalau sedang aku minta tolong untuk ngerjain project team iklan. Semangat terus ya mbak.
Aku pas masih SMP dan SMA tertarik banget jadi jurnalis, bahkan aku ikut ekskul jurnalistik dan aku berhasil jadi editor, tulisanku juga selalu terbit di majalah sekolah. Alhamdulillah sekarang kerjanya juga gak jauh-jauh dari nulis?.
Saya yang cuma iseng-iseng jadi jurnali sekaligus penyiar waktu di kampus aja merasakan beratnya jadi jurnalis. dipimpong sana kemari, waktu yang gak tentu, pokoknya nguras tenaga dan otak deh hehe. APalagi Mbak yang serius di bidang jurnalis, pasti lebih berat. Jadi pemimoi emang berat ya amanahnya, bukan hanya sekadar "marah-marah" aja, tapi ada maksud di baliknya
Terima kasih Mbak Orin..
Wah, sayang sekali nggak sempat ikut training. Tapi sekarang hasrat jurnalisnya sudah tersalurkan ya mbak lewat blog 🙂
Ini sepertinya sudut pandang pemimpin yang nggak banyak dipahami bawahannya ya kak, hehe. Tetap semangaaaaat!
Apakah seberat berat badanku? wkwk
Iya kak, selalu ada banyak cerita di balik layar :')
Betul mba. Wah, cita-cita saya juga dulu jadi penyiar tapi belum kesampaian sampai sekarang :p
Alhamdulillah.. senang ya kalau berkerja di bidang yang kita sukai.
Alhamdulillah, terima kasih mbak Ola 🙂
Wow. Hormat dulu suhu *salim wkwkwk
Aku 4 tahun aja mbak, kadang ngerasa kangen pengen balik lagi ke media tapi masih ragu. Hihi.. Mbak Suci juga semangat terus yaa!
Iya Mbak Elly, tahap pertamanya memang harus ikhlas dulu ya kalau begitu 🙂
Hahaha.. ya agak-agak mirip lah mbak :p
Hehe, kalau ortu saya terlalu percaya kali ya mbak sama saya jadi dilepas aja. Hehe. Somehow orang tua selalu tau yang terbaik untuk anaknya kok mbak 🙂
Betul sekali mbak 🙂
Alhamdulillah. Terima kasih Mbak Visya 🙂
Betul sekali mbak. Belum lagi kalau lagi mengejar deadline pasti hectic banget ya mbak..
Terima kasih mbak ^^