![]() |
source |
Masalah yang lagi “in” dan menerpa saya dan teman-teman sepermainan mungkin adalah masalah UNU600 alias Skripsi. Iya, huruf S nya kapital soalnya menyangkut aspek hidup orang banyak (agak lebay) dan mempengaruhi tatanan hidup mahasiswa: yang awalnya nggak galau jadi galau, yang awalnya galau jadi tambah galau (kalau yang ini beneran). Men, ternyata galau sekarang bukan masalah hati aja, skripsi juga (mulai berpikir agak bijak).
Bagi saya, skripsi itu menyangkut masa depan. Demi mencapai masa depan yang gemilang, ngerjain skripsi juga harus serius. Harus dari hati. Buat saya yang sudah di tolak tiga (atau empat?) kali sebelum berjuang adalah bukan perkara mudah untuk memulai Skripsi lagi dari awal. Menghadapi peringai berbagai macam dosen dari yang mendengarkan dengan seksama apa yang mau saya angkat, hingga berhadapan dengan dosen yang mengehela napas panjang ketika saya meminta ijin untuk menyita sedikit waktunya, sudah pernah saya alami.
Saya ini bukan mahasiswa yang pintar. Saya juga tidak terlalu paham berbagai metodologi dan tidak pandai menyangkutpautkan berbagai fenomena dalam berbagai macam teori. Ketika menemui dosen untuk berkonsultasi, kadang yang saya inginkan adalah di beri penjelasan, atau setidaknya diberitahu kalau saya salah dengan cara yang benar. Disini saya tidak sedang menyudutkan loh, :), tapi menurut saya, menurut mikro pengalaman saya (halah, mikro!), ada dua atmosfer yang selalu datang ketika saya berhadapan dengan dosen. Yang pertama adalah atmosfer “girang” yang mengayomi dan mendengarkan dengan seksama terlebih dahulu apa yang menjadi pertanyaan utama dan alasan saya, dan kemudian mengkoreksi saya. Yang kedua adalah atmosfer “kamu salah”. Ya, ini terjadi ketika saya mendapatkan kritikan yang benar-benar menyudutkan. Kritik (atau ‘pertanyaan’) dari dosen yang seharusnya bisa saya jawab tapi terhalang oleh atmosfer yang telah dibentuk. Kata-kata pembelaan yang akan terucap diblokir oleh atmosfir itu: kamu salah. Mboh piye carane pokoknya kamu salah. Hahaha, konyol memang ;p
Saking sumpeknya, pernah suatu hari kepala saya sampai sakit banget mikirin Skripsi ini. Nggak mudah loh, hidup dengan dua sepupu seumuran yang sama-sama satu angktan dan satu jurusan. Saya masih berkutat pada judul, sedangkan kedua sepupu saya sudah lulus. Men. Walaupun beda universitas, tapi tetap saja rasanya gimana gituu ngeliat sepupu yang udah lulus, kan mau juga sayanya :P.
Lain hari, saya dan teman-teman sepermainan sedang kumpul-kumpul santai sambil ngobrol-ngobrol. Entah siapa yang pertama kali menyinggung, tiba-tiba obrolan kami membahas mengenai Skripsi. Kepala saya yang saat itu rasanya sedang sakit cenut-cenut refleks menolak mendengarkan. Tapi nasi sudah menjadi bubur (opo to?), obrolan itu tetap aja masuk ke alam bawah sadar saya dan menggelitik si otak yang lagi cenat-cenut itu. Refleks saya bilang, “Duuuh, bisa nggak sih kita nggak ngomongin Skripsi duluu..” Dengan nada bercanda memang, but i really mean it. Saya ini termaksuk orang yang ingin santai dalam mengerjakan Skripsi. Tapi gimana bisa santai kalau setiap hari, setiap obrolan, setiap dahi yang saya lihat di muka orang-orang tulisan dan bahasannya UNU600 semua? 😛
Orang-orang bilang, carilah topik Skripsi dari hal-hal yang disukai. Bagi saya yang hanya menyukai tiga hal: (1) episode Glee terbaru, (2) ngejahilin orang, dan (3) makanan gratis, mungkin mencari tema Skripsi menjadi momok terbesar. Karena itulah, sekarang saya sudah menutup hati, menutup hati untuk judul-judul Skripsi yang baru. Ada sebenarnya yang sedang saya pertahankan, dan sedang saya upayakan setiap harinya. Kali ini, saya hanya berharap yang terbaik, seiring dengan harapan-harapan lain yang saya bisikan kepada-Nya sehabis Sholat.
Mungkin untuk sekarang, skripsi bukan lagi menyangkut masa depan, tapi menyangkut hari esok. Masa depan masih jauh, tapi hari esok hanya tinggal beberapa jam lagi. Dengan pemikiran kecil ini saya ingin benar-benar total dan menjalankan lagi semuanya dari nol. Saya sudah (berusaha) kebal dipecuti “atmosfer-atmosfer” aneh itu. Pecutan itu kini (mungkin) sudah berubah menjadi pacuan saya untuk berlari. Semoga berlari ke jalan yang benar. Semoga. Amin. 🙂
*Di tulis setelah menyadari bahwa “luka” yang didiamkan tanpa diberi obat, dan terus di garuk untuk menunda rasa sakit hanya akan menjadi borok. Saya rasa menulis adalah “obat” yang tepat. Selamat malam. 🙂
Iya wiii.. SEMANGAAAT!!! 😀