Carnival town

oleh | Jun 21, 2011 | Geje, I Think..., Sensitif | 0 Komentar

Source
Saya sadar kalau saya terlalu tua untuk berbicara bahwa manusia dilahirkan dengan sifat yang berbeda-beda. Sebenarnya pemahaman ini sudah lama saya rasakan, tapi baru sekarang saya menyempatkan diri untuk menulisnya :p
Semua orang (bahkan alien juga mungkin) tahu kalau sifat tiap individu yang berbeda itu secara garis besar dibangun dari dua komponen utama: faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal itu seperti bagaimana lingkungan (atau dalam aspek ini masyarakat) mempengaruhi dan membentuk kita. Sedangkan faktor internal adalah bagaimana kita berpikir untuk kemudian merepresentasikan diri kita atas pemahaman orang lain terhadap kita. Semacam komunikasi interpersonal gitu.
Tadi ketika saya berhenti di lampu bangjo perempatan jakal sehabis mengumpulkan tugas UAS Terkom, motor saya berhenti di belakang sebuah truk pengangkut barang. Truknya besar, jadi saya sedikit ambil jarak karena takut kesemprot asap knalpotnya yang pasti hitam pekat.
Sambil nunggu lampu hijau menyala, pikiran saya melantun ke beberapa tahun yang lalu ketika saya baru pertama kali diajari naik motor oleh Ibu. Ibu saya selalu bilang untuk selalu jaga jarak dengan truk besar karena asapnya mengganggu.
Kalau lagi jalan dan di depan ada truk, mendingan laju motornya di pelanin, Teh. Biar truknya lewat dulu, kalau udah agak jauh baru Teteh jalan lagi. Asapnya bau, bikin sakit,” ungkap beliau.
Kala itu saya hanya manggut-manggut aja. Setelah lancar naik motor, baru saya belajar buat nyelip truk-truk besar seperti itu.
Tiba-tiba lampu hijau pun nyala dan saya membiarkan truk itu untuk lewat dulu. Jaga jarak daripada ikutan bau.
Setelah beberapa kilometer saya berjalan menjauhi keramaian jalan kaliurang, saya kepikiran hal ini: hidup manusia nggak jauh beda sama jalan raya ya?
Di jalan, motor, mobil, bis, truk, dengan beragam merk dan ukuran bertemu dan menjadi satu. Bukankah kehidupan juga seperti itu? Dalam hidup kita menemui berbagai orang dengan jenis dan karakter yang berbeda.
Di jalan, kita sebagai pengendara truk dan bis selalu merasa yang terbenar karena ukuran dan porsi yang lebih besar. Kita sebagai pengendara mobil selalu menyumpah-serapahi pengendara motor yang selalu awul-awulan. Kita sebagai pengendara motor selalu menyumpah-serapahi pejalan kaki yang nggak tahu aturan. Kita sebagai pejalan kaki selalu menyumpah-serapahi pengendara kendaraan bermotor yang merenggut hak berjalan. Bukankah semuanya begitu? Semua mencari yang bisa disalahkan untuk mencari tempat yang teraman?
Dalam hidup kita juga selalu mencari tempat dan teman yang ternyaman. Teman yang bahkan kita rela untuk menghabiskan waktu bersamanya. Teman yang bahkan kita rela untuk di repotkan, untuk sekedar memberikan tanggapan dari semua persoalan, untuk sekedar haha-hihi ‘menghabiskan’ waktu bersama.
Lalu, seperti dalam jalan raya, dimana kita menempatkan diri kita terhadap orang yang kita benci? Apakah kita menempatkan diri kita dalam sudut pandang bis dan truk yang menganggap kita adalah raja jalanan yang sebenarnya? Atau dalam sudut pandang mobil dan motor yang selalu saling menyalahkan? Atau dalam sudut pandang pejalan kaki yang selalu merasa dirugikan?
Faktor eksternal dan internal itulah yang menjadi jawaban atas pertanyaan itu. Kamu bebas mau menempatkan dirimu dalam sudut pandang yang mana. Seorang teman pernah berkata pada saya, “Nggak ada opini yang salah.” Dan saya percaya. Seratus juta persen percaya. Setiap orang punya alasan untuk menjadi dirinya yang sekarang. Dan kita nggak bisa menghakimi kenapa seseorang menjadi dirinya yang sekarang.
Setiap roda pasti berputar, begitu juga dengan roda kehidupan. Jadi, mari kita berandai-andai kita sekarang sama-sama berada dalam sudut pandang pengendara motor yang sedang terjebak di belakang truk besar berknalpot hitam dan berasap pekat. Apa yang harus kita lakukan?
Menurut saya pribadi, yang kita lakukan hanya cukup bersabar. Berjalan pelan di belakang truk, atau berhenti sebentar untuk memberikan jalan pada si truk. Mau nyalip? Bisa, tapi bukankah nyalip itu butuh melihat situasi arus yang berlawanan? Kalau arus berlawanan lagi sepi, paling mantap emang nyelip si truk sambil ngelakson kenceng-kenceng. Sambil sumpah-serapah kalau perlu. :p Tapi kalau arus yang berlawanan juga sedang padat merayap? Nggak ada yang salah dengan bersabar kan?
Sama dengan hidup. Nggak ada salahnya buat kita untuk bersabar. Ya, saya memang bukan superwomen yang bisa sabar sama orang-orang. Semua orang kayaknya tahu kalau saya punya pengendalian yang payah terhadap emosi saya sendiri. Kalau ada hal-hal yang bikin nggak enak, saya bisa langsung diem dan jutek setengah mati. Tapi dalam diam itu juga saya nyoba untuk bersabar, lho. Saya bersabar untuk tidak berbicara karena saya tahu dengan berbicara dalam kondisi seperti itu saya hanya akan menyakiti perasaan teman-teman saya dengan ucapan yang malah nyelekit.
Emang susah sih, tapi kita memang butuh belajar buat sabar. 🙂 Kita nggak boleh diperalat dengan kepribadian kita sendiri. Ada yang bilang kalau kita adalah salah satu dari tipe kepribadian sanguitis, melankolis, plagmatis, atau koleris. So what kalau kita mau melangkah keluar dari kepribadian kita sendiri? Siapa juga yang bisa ngatur diri kita selain emang diri kita sendiri?
Bahkan saya sedikit merasa kalau empat tipe kepribadian itulah yang justru membentuk kepribadian kita. “Ah, saya kan termaksuk tipe koleris, jadi saya harunya bersikap seperti ini…” Nah, pemikiran itu tuh yang menurut saya salah. Orang yang mencap dirinya sebagai orang yang emosian juga harus belajar caranya sabar. Makanya saya sebel banget sama orang yang bilang, “apa gue harus bersikap kayak gitu? Males ah. udah bawaan lahir sikap gue kayak gini.” HALOOOOOO?? Kemana aja lo selama ini?? Nggak pernah belajar buat berubah?? Nggak pernah belajar buat beradaptasi??
Ini bukan berarti saya mengajari kalian untuk tidak memiliki kepribadian ya. Saya pernah baca kalau orang yang di benci seharusnya bersyukur karena setidaknya mereka mempunyai ciri khas. Tapi patutkah kita di benci orang lain untuk mendapatkan satu ciri khas? Patutkah kita dibenci kalau kita sebenarnya bisa merubahnya dengan sedikit bersabar? Bisa, lho. 🙂
Source

Ps. Ini cuma tulisan yang didasari refleksi hari aja. Nggak ada unsur apa-apa didalamnya selain ingin berbagi dan ‘sedikit’ melafalkan intuisi. Maaf ya bagi yang tidak berkenan. No offense 🙂
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

HI THERE!

DIaz Bela Blog

Diaz Bela Yustisia

Generasi 91, seorang ibu, dan ex-News TV Reporter yang sekarang sedang meniti “karir” di dunia digital.
Saya menulis tentang hal-hal yang saya sukai: pengalaman, opini, traveling, kuliner, dan lain-lain!
Talk to me about anything! 🙂

Arsip

MEMBER OF:

logo komunitas blog
logo komunitas blog
Logo Komunitas BRT Network