Kisah Petik #FF2in1 (2)

Written by Diaz Bela

Seorang ibu milenial, ex-News TV Reporter, dan digital enthusiast. Saya menulis tentang hal-hal yang saya sukai: pengalaman, opini, traveling, kuliner, dan lain-lain.

18 September 2013

Namaku Petik, usiaku 40 tahun, cukup tua untuk menjadi sejarah.
Tak seperti biasanya, hari ini aku duduk di sudut ruangan menunggu siapapun yang datang dan turut meramaikan sanggar. Hmm, sebenarnya aku menunggu Neng Asih, perempuan sunda berusia dua puluh dua tahun yang selalu bisa membuatku tersenyum dan bersedih disaat yang bersamaan. Tidak ada yang tidak jatuh hati pada Neng Asih. Ia keturunan Kerajaan Sunda, darah Sunda mengalir kental dalam tubuhnya. Ia gemulai menarikan tari Jaipong, mendendang merdu Pupuh-pupuh Sunda, dan pintar memainkan alat musik klasik. Siapa yang tidak jatuh hati dibuatnya? Ini sanggar milik keluarga Neng Asih. Dia adalah generasi ke dua puluh yang mengelola sanggar ini. Dikumpulkannya anak-anak dari desa sekitar untuk datang dan mempelajari budaya Sunda. Tidak ada biaya yang diminta oleh Neng Asih. Kebanggaan terbesarnya adalah dengan menurunkan tradisi-tradisi luhur Kerajaan Sunda dari adat hingga keseniannya yang sekarag sudah menjadi asing bagi masyarakat modern. Terkadang penduduk sekitar membalas jasa Neng Asih dengan membagi hasil panennya. Seikat sayur-mayur, sekarung singkong, beras, dan segelas air tuak datang silih berganti untuk Neng Asih.
Berbeda dengan Neng Asih, aku hanyalah seorang pemimpi yang gemar bermusik. Cita-cita terbesarku adalah keliling Indonesia dan berkelana keluar negeri untuk memperkenalkan kebudayaan Sunda. Tidak muluk-muluk, asalkan semua orang tahu keberadaanku, mendengar suaraku, dan… bersama Neng Asih. Harus Neng Asih karena hanya dia yang bisa mengerti kebutuhanku.
Kriiiit… Ah, sepertinya itu suara derit pintu, mungkin Neng Asih dan anak-anak sudah datang. Benar! Neng Asih membuka ruangan tempat aku duduk diikuti oleh sekumpulan anak-anak di belakangnya.
“Adik-adik, yuk ikut teteh sini sekarang kita bareng-bareng nyanyi pupuh, nya. Nyanyina make alat musik tradisional. Ieu teh alat musikna turun temurun di keluarga teteh. Nanti adik-adik bakal teteh ajarkeun, nya, cara mainkeunna.”
Neng Asih lalu mengeluarkanku dan mulai memetik bagian tubuhku dengan merdu. Suaranya. Parasanya. Aku jatuh hati pada perempuan cantik ini. Saat badan kayuku yang mulai merapuh dimakan rayap, tatkala senar-senarku tak lagi menghasilkan suara merdu, aku ingin semua bagian tubuhku dikenang. Dalam benak Neng Asih, atau dalam benak semua orang yang sudah melihat kami. Atau jika badan kayuku lebih kuat daripada usia Neng Asih, tiap senandung yang kudendangkan akan selalu tentang Neng Asih. Gaung dari tiap petikannya akan selalu meneriakan nama Neng Asih.
Aku ingin kesunyian kami dikenang sebagai sebuah harga, harga dari mahalnya sebuah warisan kebudayaan yang patut dilestarikan.

#FF2in1 – @nulisbuku
Tema 2 – Pada Suatu Hari Nanti

Arsip

MEMBER OF:

logo komunitas blog
kumpulan emak blogger
Logo Komunitas BRT Network
Seedbacklink

Baca Juga Artikel Berikut:

Lost

SourceAda yang hilang dari sorot matanya.Mata yang biasanya menatapku tajam itu tiba-tiba melunak, hampa tanpa...

Ambivalensi

Dalam Kilat mata itu, ada keraguan yang dipendam sejak lama. Yang muncul sesekali ketika disulut, seperti anjing...

Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Diaz Bela
Diaz Bela
11 years ago

Terima kasih 🙂