Komentar suatu “diskusi” ringan seusai evaluasi di kantor tadi cukup menggelitik. Geli sekaligus galau. Khas anak muda kekinian.
Temanya: KOMITMEN.
Komitmen?
Mendengar kata itu saja mungkin sebagian orang sudah bergedik ketakutan.
Sebagian lagi, mungkin santai-santai saja sambil menyeruput kopi panasnya…
termaksuk saya.
Sebagian dari kita mungkin ada yang mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Karena dia baik, karena dia pintar, even mungkin karena dia kaya. Tidak pernah terpikir apa jadinya, kalau dia mendadak jahat, mendadak tidak sepintar dahulu, atau mendadak miskin.
Will you still love them, then?
That’s why you need commitment.
Don’t love someone because of what/how/who they are.
From now on, start loving someone, because you want to.
–Test Pack, Ninit Yunita
Pertama kali saya belajar (dan benar-benar tahu) soal komitmen, adalah setelah saya selesai baca buku Test Pack-nya Ninit Yunita. –Buat yang belum baca, buruan baca, saya saranin nggak usah nonton filmnya (;p). Konyol memang, mempercayai sesuatu dari hal-hal berbau fiksi. Kasus klasik remaja expired seperti saya: jatuh cinta pada karakter, plot, tema, dan dialog fiksi. Tapi bukankah hidup itu lucu, karena terkadang justru kita belajar dari kejadian, benda, hingga hal-hal yang tak terduga. Termaksuk (bagi saya) lewat novel itu.
Komitmen tidak melulu dengan pasangan lawan jenis. Bisa juga dengan sesuatu yang kita cintai. Bagaimana kita menjaga nama baik demi nama belakang keluarga yang kita sanding, bagaimana kita setia pada lawan jenis atas dasar cinta, bagaimana kita melindung saudara karena hirarki yang sudah melekat… Kembali, menurut saya komitmen adalah prinsep teguh yang harus dipegang. Yang jika diikuti, terbayar lunas dengan sikap bernama kedewasaan.
Menurut saya, komitmen adalah prinsip teguh yang sederhana. Perumpamaannya Sapardi, sesederhana kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Sesederhana itu. Tanpa pamrih, namun mendapatkan timbal balik yang setimpal tanpa diminta. Menjalankannya, kadang membuat hari berbunga-bunga hingga senyum-senyum seperti orang gila. Tak jarang juga dibuatnya kecewa, seolah menjadi orang paling merana di dunia.
Dalam konteks cinta dan pasangan hidup, menurut saya komitmen juga sederhana. Bukan seberapa banyak saya telah mencari dan mendapatkan, tapi sejauh mana saya memegang teguh komitmen itu sendiri. Ingat kisah Aristoteles dan bunga yang ia petik? Ya, sesederhana merengkuh apa yang terjangkau, tanpa perlu muluk-muluk berharap ada yang lebih di luar sana. Sesederhana itu.
Seperti perbandingan terbalik angin yang menerpa pohon-pohon tinggi, komitmen juga selalu diuji. Inilah yang menggetarkan proses kedewasaan. Dimana sikap dasar kita sebagai manusia diuji. Nafsu dan ambisi ditempa menjadi satu menghasilkan tanda tanya besar pada hati.
Kembali, jawabannya ada pada seberapa besar hatimu mencerna komitmen. Takut? Pasti ada. Wajar karena itu adalah emosi tingkat dasar yang dimiliki semua manusia, mekanisme pertahanan hidup sebagai respon terhadap stimulus tertentu. Yang jelas, melarikan diri bukan alasan, apalagi jalan keluar. Hanya pecundang yang tidak berani menghadapi pilihan-pilihan hidup. Bahkan kekalahan dirancang sedemikian rupa supaya kita belajar bagaimana menjadi pemenang.
Saat ini saya masih percaya, kalau orang-orang dirancang tidak untuk sama. Pemikiran ada untuk berkembang, untuk membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran lain tanpa perlu mengusik pendirian akan definisi komitmen yang kita punya.
Gimana, sudah siap untuk berkomitmen?
-d-