Waktu itu saya lagi ngobrol di sela-sela mata kuliah yang menjemukan bersama seorang teman. Teman saya itu, baru saja “terinfeksi” pemikiran feminis. Pikirannya bergejolak, dihantui berbagai pertanyaan. Saya masih berusaha mencermati pertanyaan dan pendapatnya hingga ia melontarkan satu pertanyaan lain:
“Kenapa seorang istri rela meyiapkan keperluan suaminya dari mulai dia bangun tidur sampai hendak tidur?”
Dan saya hanya bisa diam. Masih banyak lagi pertanyaan yang keluar dari pikirannya. Lontaran pertanyaannya menampar suara dosen yang sedang memberikan materi kuliah.
“Kamu tahu cinta?”
kata saya refleks.
“Sampai sekarang nggak ada yang bisa menafsirkan cinta kedalam teori, materi, atau logika. Kamu pernah jatuh cinta? kamu sadar kalau kamu sekarang sering menertawakan apa yang dulu kamu lakukan ke orang yang pernah kamu cintai? apa dulu kamu sadar melakukan hal itu?”
Teman saya itu langsung diam. Raut mukanya seperti ditampar. Ia mulai mencerna pernyataan saya. “Teori” yang saya buat tanpa dasar.
“Semua hal nggak berdasar ketika dilakukan dengan cinta. Kita nggak sadar apa yang kita lakukan, kenapa kita melakukan hal-hal diluar kebiasaan… Apa alasan yang lebih kuat ketika seseorang rela menomorduakan kehidupan pribadinya untuk yang terkasih? Ha. Cinta!”
Dia diam. Sejenak.
Dan tema obrolan baru kami pun datang. Betapa cinta selalu tak berlogika!