Nggak kerasa di tahun 2024 ini genap dua tahun saya full bekerja dengan metode WFH atau Work From Home. Awalnya nggak pernah nyangka sih bakal ada di titik ini karena nggak pernah kebayang aja kalau ternyata BISA lho bekerja dari rumah.
Hingga kini masih banyak teman-teman yang nanya, kok bisa sih bekerja dari rumah? Dapat kerjaannya dari mana? Bagaimana bisa mengatur waktu ketika bekerja dari rumah?
Nah, karena seringnya dapet pertanyaan seperti itu, saya jadi berpikir gimana kalau saya tuliskan sekalian saja pengalaman ini, sekalian sharing juga siapa tahu juga membantu memberikan insight buat teman-teman yang ingin memutuskan bekerja dari rumah.
Kedepannya, mungkin saya ingin membuat series dari cerita pengalaman bekerja dari rumah (#CeritaWFH). Namun sebelumnya saya mau disclaimer dulu, ya, saya bukan bekerja sebagai virtual assistant atau pekerjaan freelance yang dilakukan sesekali di rumah, tapi memang full-time bekerja (seperti 9-5 job) untuk sebuah perusahaan startup.
Di bagian pertama dari #CeritaWFH ini, saya ingin menceritakan bagaimana cara saya beradaptasi dengan ritme kerja dinamis dari sudut pandang seorang ibu anak dua yang sebelumnya full bekerja kantoran.
Tantangan Bekerja WFH Bagi Ibu Dua Anak

Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya, dua tahun yang lalu saya diterima kerja di salah satu perusahaan startup setelah sebelumnya career break selama dua tahun. Hal ini tentu membuat saya bersemangat. Di satu sisi saya senang banget karena akan kembali ke dunia kerja, mendapatkan kembali pendapatan penuh dan memenuhi keinginan untuk hidup frugal living. Sementara di lain sisi saya sedikit ragu dan bertanya-tanya apakah saya bisa mengejar “ketertinggalan” di dunia perkariran.
Berikut saya rangkum beberapa tantangan yang saya hadapi ketika memulai bekerja WFH dan bagaimana saya menyikapinya:
- Tantangan: Distraksi. Bekerja dari rumah bukan berarti tidak bekerja. Di awal, banyak teman saya yang bilang kalau pekerjaan saya itu enak, bisa disambi dengan urusan rumah. Nyatanya? YA NGGAK BISA. Sebagai individu, harus tetap profesional dong dengan pekerjaan yang dimiliki: kerjaan harus beres dan target harus tercapai. Lagipula pekerjaan rumah, domestik dan mengurus anak, adalah perkerjaan BERAT yang kuantitasnya tidak bisa disambi. Makanya, keduanya harus berjalan seiring karena sama-sama berat.
Solusi: Cari bantuan. Bantuan yang saya maksud di sini adalah berupa jasa yang bisa membantu meringankan pekerjaan sehari-hari. Akhirnya untuk pertamakalinya dalam hidup saya hire ART. Selain itu, karena saat itu bertepatan dengan momen Abang D masuk TK, saya cari TK Abang D yang full day. Jadi semi daycare gitu, Alhamdulillah semuanya bisa berjalan dengan baik. - Tantangan: Management waktu. Awalnya sangat sulit membagi waktu untuk disiplin bekerja tanpa distraksi. Karena, namanya bekerja di rumah pasti adaa aja ya tantangannya. Entah tiba-tiba ada tamu, harus ke warung beli sesuatu, hingga yang paling memorable adalah harus nungguin tukang karena tukangnya hanya bisa kerja di working days 😂Apalagi ketika di tahun 2023 lalu, setelah Adik D lahir dan cuti melahirkan saya selesai, saya harus bekerja sambil mengurus bayi. Walau ada ART yang membantu tapi tantangan itu selalu ada dan bagi saya gimanapun family comes first 😊
Solusi: Bikin jadwal teratur yang tolerateable. Biasanya saya mem-breakdown satu hari menjadi beberapa jam kegiatan di Google Calendar sehingga tidak kecampur antara waktu kerja dan istirahat. Dari masing-masing jadwal itu, ada target yang harus dicapai jadi kerja dan istirahatnya bisa terukur. Misal, di hari kerja ini harus beres 2 artikel, di waktu istirahat bisa makan dan ke warung beli galon, seperti itu.
Lalu gimana kalau Adik D mau nen? Ya tinggal nenenin aja hehe.. Tapi tetep ya mode standby-nya diaktifin apalagi kalau kerjaan lagi hectic-hecticnya. Memang seberapa lama sih menyusui itu, paling lama (sepengalaman saya) 30 menit. Kalau misal ada beberapa hal yang membuat saya tidak bisa menyelesaikan pekerjaan di jam kerja, saya bayar kekurangannya di jam lain. Jadi sebenarnya fleksibel aja asalkan target yang saya tentukan tercapai. - Tantangan: Ruang kerja. Kalau di kantor mungkin kita sudah difasilitasi dengan ruang kerja yang memadai dari “peralatan tempur” seperti komputer, meja kerja, kubikel pemisah, dll. Namun, kalau di rumah kita harus menyiapkannya sendiri. Menurut saya, jangan anggap remeh ketersediaan ruang kerja karena ini akan membantu dalam fokus menyelesaikan tugas dan juga memisahkan antrara ranah kerja dan pribadi.
Solusi: Buat ruangan kerja. Nggak perlu yang fancy, cukup di pojok ruangan dengan meja, laptop, colokan, dan wifi yang lancar. Dengan adanya setup ini, saya merasa bisa lebih produktif kerja dan bisa menyelesaikan kerjaan tepat waktu. Dengan pemahaman, anak-anak juga jadi tahu kalau saya sedang duduk di ruangan kerja berarti belum bisa diganggu. Dan sebaliknya, ketika saya sedang bermain dengan anak-anak juga saya nggak pernah main di ruangan kerja.
Jadi ingat ketika saya keterima kerja, saya langsung menjadwalkan ke IKEA untuk beli meja kerja. Waktu itu pilihannya memang ada beberapa tapi memang yang IKEA lebih cocok karena jujur harganya terjangkau dan bisa dilepas-pasang, memudahkan jika ingin dibawa kemana-mana. Maklum aja, rumahnya kan masih ngontrak jadi ada kemungkinan pindah, hehe. And this table was a good investment 😉 - Tantangan: Menglola ekspektasi. Bekerja di kantor maupun di rumah pasti punya kelebihan, keuntungannya, dan tantangannya masing-masing. Sebagai seseorang yang suka kerja, terkadang saya punya ekpektasi terkait dengan apa yang harus saya capai di hari itu. Seperti ingin pekerjaan selesai tepat waktu, rumah tetap rapi, anak-anak mendapatkan perhatian penuh, dan makanan selalu siap di meja. Namun, kenyataan sering kali berkata lain. Ada hari di mana anak-anak lebih membutuhkan perhatian karena sedang sakit, pekerjaan mendadak menumpuk, atau saya sendiri yang merasa kelelahan.
Solusi: Fleksibel. Bersikap fleksibel adalah salah satu hal yang saya pelajari selama dua tahun bekerja remote. Mulai dari memprioritaskan kegiatan yang paling penting, tidak membandingkan diri dengan siapapun baik rekan maupun persona online, berdamai ketika tidak mencapai target harian, dan mencari solusi lain yang lebih simple dari permasalahan yang sedang dihadapi.
Perjalanan saya beradaptasi dengan ritme kerja remote atau kerja WFH yang dinamis memang tidak selalu mulus, tetapi tetap saja penuh pelajaran yang bisa saya ambil. Saya belajar bahwa fleksibilitas, kesabaran, dan memang yam dukungan keluarga adalah kunci utama untuk sukses bekerja dari rumah sebagai ibu dua anak.
Nah, apakah kamu juga pernah menghadapi situasi serupa atau malah juga sama-sama sedang remote working? Semoga tips yang saya berikan di atas bisa bermanfaat dan jangan ragu untuk terus bereksperimen untuk menemukan pola kerja yang sesuai. Jika Anda memiliki pengalaman atau tips lain, jangan lupa bagikan di kolom komentar, ya!!
Meski WFH, yang kata orang mah enak dan santai, ternyata faktanya nggak seperti yang dibayangkan ya. Kita tetap harus profesional dan menyelesaikan pekerjaan sesuai target. Bahkan kayaknya lebih banyak distraksi WFH deh dibanding WFO. Apalagi nyambi ngurusin rumah dan anak juga.
Soalnya saya juga pernah nganggur 1 tahun full, fokus ngeblog di rumah. Meski kelihatannya santai, tapi ternyata banyak distraksi juga loh. Jadi memang mesti ada manajemen waktu yang baik juga meski WFH.
Very nice sharing 👍👍👍
Jadi sebenarnya posisi Mbak Diaz sama saja dengan orang kerja di kantoran ya. Hanya bedanya kerja di rumah saja. Dan ini tentu lebih menguntungkan kala freelance karena gajinya juga full. Jadi tinggal disesuaikan aja ritme kerjanya. Pasti ruang kerja yang nyaman. Kerja di rumah sambil bisa menemani buah hati.
Semangat kak! Zaman sekarang work from home sudah mulai naik daun dan dengan segala tantangannya WFH ini ada kelebihan tersendiri.
Daku juga pernah WFH dari 2017-2023, Kak. Memang menantang sekali kalau bekerja dari rumah sementara anak juga masih kecil. Jadi memang mereka diberi pengertian bahwa mamanya di depan laptop itu sedang bekerja.
Butuh support system juga terutama dari suami.
Wah seru banget baca pengalamannya kerja kantoran WFH. Memang setiap pekerjaan ada kelebihan dan tantangannya ya. Aku setuju banget sih harus ciptakan ruang kerja sendiri. Bikin kita fokus dan anak jadi tahu kalau kita sedang bekerja. Bikin kita jadi bersemangat juga, hihi.
Bener sih kak. Distraksi dgn anak ini emg bener2 dilema sih. Mau pake jasa IRT, tp kdg emg kurang cocok. Paling enak, ya nitip ke mertua indah. Hehe. Itu kalo ga sibuk ya mertua/ibu kita sendiri.
Emg enak sih kalo kerjaan tuh msh WFH. Khususnya kalo bs disambi. Namun kalo nggak bs, ya emg solusinya bs pk IRT/mertua td sih. Lbh aman. Syukur lagi kalo anak2 udh mandiri.
Betuul,ka..
Justru WFH ini tantangannya luar biasa yaa.. Selain kudu banyak mengalah pada keadaan ((karena posisi menjadi Ibu yang masih sangat dibutuhkan anak)) juga mengatasi kelelahan dari diri sendiri.
Kadang kalau berdalih lelah, malah jadinya scroll yang ga penting-penting ituu.. dan jadi kurang bagus dalam menejemen waktu.
Padahal kalau untuk mommy, pastinya waktu sedetik juga jadi sangat berharga sekali kan yaa..
Bekerja di rumah itu ternyata tidak seindah yang dibayangkan, ya. Banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama di awal-awal meniti WFH. Tetapi seiring berjalannya waktu dan manajemen diri yang bagus, pasti bisa di lalui rintangannya.
Salut dengan Mbak Diaz yang bisa melalui tantangan-tantangan untuk WFH ini dan bisa bertahan serta menikmati bekerja di rumah like 9 to 5
Kebetulan kita beda fase kehidupan, kak. Saya hidup di jaman yang jauh dari apa yang sekarang bisa disebut remote working. Dua puluh tahun lebih saya harus kerja di luar rumah, ngantor yang memang harus pergi ke kantor gituh. Jam kerjanya jauh di luar jam kerja normal hehee… kerja keras bagai kuda istilahnya. Makanya sekarang saya malah lebih cenderung slow living. Kerja di rumah bisa di mana saja, bahkan kadang2 sambil di atas kasur. Nikmat banget. 🙂
whuuaaa, saya lagi mempertimbangkan kerja remote tapi kepikiran bocil mulu mbaa, apalagi kakak mau sekolah dan adik jadi sendiri, otomatis makin butuh teman, tapi baca ini jadi harus pikir-k=pikir lagi