Obrolan beberapa hari terakhir ini terasa mencekik.
Temanya tetap sama: perempuan dan mimpi. Kami, para perempuan berkumpul untuk menyeruput secangkir coklat di sore hari, dan makan siang di hari berikutnya. Masing-masing dari kelompok kami tidak kenal satu sama lain tapi kami membahas hal yang sama.
Sore itu kami bercerita mengenai mimpi kami yang masih setengah jalan โuntuk saya, mimpi itu masih belum tercapai-. Salah satu teman menceritakan mimpinya yang baru kemarin terwujud sambil sesekali mengaduk es kopi krimernya. Saya memeluk gelas es coklat dengan kedua telapak tangan erat-erat ketika dia sedang bercerita. Selain sore itu maih cukup panas karena matahari mengganas beberapa minggu terakhir ini, saya selalu suka sensasi yang ditimbulkan bulir dingin es yang mencair di tepian gelas. Perempuan itu masih bercerita. Katanya, ia akan terus berusaha membangun daftar impiannya sampai semuanya tercapai. Teman yang lain menimpali, sambil berbagi cita-citanya untuk memiliki bisnis di masa depan kelak. Kami lalu larut dalam obrolan masa depan layaknya masa itu sudah di depan mata.
Dan episode-episode cerita kami mengular. Sama panjangnya dengan musim sinetron Cinta Fitri. Dari mimpi-mimpi ajaib kami, para perempuan, sampai kewajiban kami, para perempuan, yang kelak harus dilaksanakan. Untungnya kami sama-sama masih memiliki waktu yang (lumayan) panjang untuk memilih melaksanakan kewajiaban itu. Karena kami sadar kalau kami tidak akan melaksanakan keduanya jika kami ingin menuai hasil yang maksimal di salah satu mimpi itu.
Kecepatan waktu bagai air yang merembas di sehelai tisu. Tak terasa gelap mengetuk kami, menyadarkan kalau langit tidak lagi bermandikan cahaya. Cacing-cacing dalam perut juga mulai memberontak, mendemo kami yang dari tadi melahap mimpi, bukan seonggok karbohidrat yang mengenyangkan.
Kami lalu pindah tempat untuk makan karena sepiring nasi di cafe itu terlalu mahal buat kami. Malam pun selesai disitu, sesak dengan bayangan mimpi-mimpi kami kelak.
***
Keesokannya panas masih menyengat Jogja. Bola api raksasa itu seolah mengujam tiap jengkal kulit saya, membakar lapisan atas kulit yang sedang melaju kencang diatas motor. Tujuan saya siang itu adalah makan siang, setelah sebelumnya bekerja. Di hari minggu. Ya, bekerja. di. hari. minggu. Terdengar menyebalkan, bukan? ๐
Lagi, percakapan makan siang membawa pikiran saya mengawang-awang di masa beberapa tahun dari sekarang. Akankah saya menjalani mimpi yang saya punya hari ini? Kami memiliki obsesi, tapi, hanya beberapa dari kami yang sadar untuk mengikuti obsesi itu. Lagi, alasannya karena tugas kami, perempuan, yang mereka rasa tidak bisa dijalankan seiring dengan mimpi dan obsesinya.
Dalam hati lalu saya bertanya, apakah kami harus tunduk pada tugas kami? Mengesampingkan mimpi, mengendurkan obsesi, hingga hidup penuh tekanan justru untuk tidak terlalu menekan diri sendiri? Lama sekali saya terlamun dalam “pemikiran aneh” ini. Sepiring nasi-ayam goreng yang saya makan siang itu sudah habis. Di meja, tinggal beberapa helai daun lalapan yang masih tersisa. Obrolan kami pun mulai menipis, tinggal pemikiran aneh ini saja yang masih bekerja.
Kami lalu pulang, menuju kendaraan masing-masing untuk kembali menjalankan aktivitas di minggu yang seharusnya menyenangkan. Sebenarnya saya bingung mau menghabiskan hari minggu dengan kegiatan apa: terlalu bosan untuk malas-malasan dikamar kos, terlalu bingung untuk pergi ke suatu tempat, terlalu sendiri untuk berekreasi. Namun, sesuatu yang terjadi di perjalanan pulang menyimpulkan semua obrolan ini: saya masih belum mau menyerah dengan mimpi. Belum. ๐