Pulang adalah kata yang menjelma menjadi sahabat bagi para perantau, termaksuk saya. Kadang saya dibuat bingung oleh kata ini. Pulang kemanakah yang saya maksud? Ketika di Jogja, saya mengartikan kata ‘pulang’ untuk Sukabumi, kota yang selama tujuh belas tahun telah membentuk sebagian diri saya. Tapi ketika berada di Sukabumi, ‘pulang’ mengubah deskripsinya pada kota Jogjakarta, tempat dimana saya singgah dan mencicipi kehidupan selama hampir empat tahun terakhir.
Kalau kata ‘pulang’ selalu merujuk pada rumah, maka saya menjadi orang yang paling tidak konsisten. Rumah, adalah tempat dimana saya menemukan kebahagiaan, tempat saya menemukan ‘sesuatu’ untuk bersandar, dan tempat dimana saya bisa datang kembali setiap saat dengan mendapat sambutan hangat. Sukabumi dan Jogja menawarkan itu semua dan berhasil menawan ‘pulang’ sebagai deskripsinya.
Suatu hari saya melakukan perjalanan ke tempat yang lumayan jauh, tempat yang bahkan lokasinya saja tidak saya ketahui di peta. Dalam perjalanan ini, ‘pulang’ berubah menjadi sebentuk kata sakral. Menyebutnya bisa membuat perasaan berdesir, merindukan semua aroma yang ada di rumah, merindukan meringkuk di kasur yang paling nyaman sedunia, merindukan kehangatan atmosfir rumah… Ya,saya homesick.
Hari berganti minggu, kota yang saya tinggali menjadi lebih dari sekedar tempat menjalankan aktivitas. Keakraban mulai terjalin dengan penduduk asli. Fase inilah yang mengubah pertanyaan ‘apa kabar?’ yang awalnya hanya berfungsi sebagai pertanyaan basa-basi menjadi pertanyaan yang membutuhkan jawaban lebih dari sekedar ‘baik’.
Ada sejumput rasa yang dipilin istimewa, ketika semua tersinkronisasi sesuai yang diharapkan. Tertawa, marah-marah, menangis, semua jadi satu dan dimuntahkan dalam pondok kecil yang dindingnya tak bersekat. Momen makan bersama dan bermain sambung kata menjadi detik-detik paling menegangkan karena kalau tidak cermat bisa-bisa dapat hukuman truth or truth. Belum lagi kalau harus mengantri mandi dengan bonus siulan-siulan gaib yang menyuruh siapapun yang baru mengoleskan pasta gigi ke sikatnya terlonjak kaget dan segera menyudahi aktivitasnya.
Minggu berganti bulan, definisi tentang ‘pulang’ kembali diperdebatkan. Sekali lagi, jika ‘pulang’ selalu merujuk pada rumah, maka saya tidak perlu pulang. Di tempat itu saya menemukan semuanya.
Kadang, kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. Menemukan teman, sahabat, saudara. Mungkin juga cinta. Mereka-mereka yang memberikan ‘rumah’ itu untuk kita, apa pun bentuknya. (Windy Ariestanty)
Tapi hidup sepertinya tidak untuk terus berpijak. Kadang kita harus kembali dan terus lompat dari satu titik ke titik lain untuk menemukan diri kita yang sebenarnya. Melompat yang bukan untuk meninggalkan, tapi untuk mencari. Saat itu juga, pagi di tanggal 25 yang mendung, bersama rombongan ibu-ibu yang hendak pergi ke pasar, saya dan teman-teman berjalan meninggalkan kota itu. Diiringi beberapa anak yang berlari dan mengayuh sepeda, kami berjalan membelakangi pondok hijau, basecamp mungil kami, saksi bisu selama 56 hari kebelakang. Kami pulang. Saya pulang.
ps. kepada Anteru, ayo kita ‘pulang’ lagi ke Muntok! 😀
aaaaaaaaaa.. i miss that moment. >.<
Anteruuuuuu :3