Secangkir Cokelat Panas

Written by Diaz Bela

Seorang ibu milenial, ex-News TV Reporter, dan digital enthusiast. Saya menulis tentang hal-hal yang saya sukai: pengalaman, opini, traveling, kuliner, dan lain-lain.

15 Februari 2013

Saya ambruk. Debat yang berkecamuk dalam pikiran kini bergerombol menyerang fisik. Mata saya dipenuhi bayangan kunang-kunang kuning yang enggan hilang walau sudah mengerjapkan mata beberapa kali. Semua berwarna terang, semua terasa bergoyang. Lalu saya duduk menepi sebelum ambruk.
Saya benci memejamkan mata ketika pikiran masih aktif bergejolak. Tapi toh sama saja jika membuka mata pun saya tetap tidak bisa melihat apa-apa. Sambil terpejam, debat itu datang lagi. Membisiki saya sampai muak. Menyebut beberapa kata kunci yang membuat saya geram. Tapi daya saya sudah habis untuk berkompromi dengan fisik yang juga makin melemah.
Kata Dee, apa yang lebih dibutuhkan oleh seseorang yang sedang sakit selain segelas air putih dan obat pereda nyeri? Jawab saya: kamu. Ya, kamu. Yang pergi lebih dari 1000 km jauhnya, yang sekarang jarang menyempatkan waktu untuk menyapa, yang sudah menikmati dunianya sendiri, yang tanpa (atau sadar?) meninggalkan saya sendiri.
Apa yang ditakutkan seseorang selain sendiri? Entahlah. Mungkin seperti merapat di pojok kasur sambil menatap dinding dan menghitung barisan semut yang berjalan entah kemana. Duduk bersandar sambil memainkan belasan aplikasi permainan smartphone yang mulai membosankan. Memaksa mata terpejam sambil menghitung detik jam yang tak habis berputar, berharap akan tertidur namun malah sebaliknya: makin terjaga.
Maka dari itu saya benci Sabtu dan Minggu, saya benci libur karena menjauhkan saya dari aktivitas dan interaktivtas. Maka dari itu saya tidak ingin pulang, berdalih baik-baik saja agar semua tetap berjalan apa adanya. Maka dari itu saya berkelana memutari jogja, membuat dialog impulsif dari tingkah orang asing yang saya lihat. Karena lebih baik jangan biarkan perasaan sakit melahapmu, memberikanmu alasan untuk tidak melakukan apa-apa. Lawan!
Kini saya hanya ingin secangkir cokelat panas, yang aromanya pekat, semerbak memenuhi indera penciuman, dan obrolan panjang yang mewujud tameng untuk sakit ini.
Sial, saya sudah meneguk secangkir rich strong nescafe sebagai teman menulis postingan ini.
*elus-elus perut*
Kram sialan!!!

Arsip

MEMBER OF:

logo komunitas blog
kumpulan emak blogger
Logo Komunitas BRT Network
Seedbacklink

Baca Juga Artikel Berikut:

Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Warung Kopi Kothok
Warung Kopi Kothok
11 years ago

Saya malah cinta Minggu. Karenanya secangkir jadi nikmat luar biasa.

Diaz Bela Yustisia
Diaz Bela Yustisia
11 years ago

Tergantung, kalau minggunya masih kerja, cokelat jadi nggak enak lagi rasanya :p

Warung Kopi Kothok
Warung Kopi Kothok
11 years ago

Entah kalau begitu. Mingguku berarti libur. Bukan Minggu (Ahad) berwarna merah setelah Sabtu sebelum Senin itu. Sebuah Ahad yang dihabiskan buat bekerja, telah gugur predikatnya sebagai Minggu. Iya, itu memang cuma versiku.

Kopi Minggu adalah kopi paling enak sedunia 🙂 Itu kopiku.