Pagi itu seperti biasa saya terhentak bangun. Seminggu terakhir, deadline yang diberikan produser membuat waktu tidur saya terganggu. Tidak bisa lelap dan selalu terbangun dengan perasaan tersentak.
Jam menunjukan pukul 4 pagi. Saya harus siap satu jam lagi untuk turun ke lapangan, mencari berita ditengah rintiknya Jakarta. Apalagi kalau bukan banjir? Ekspos media besar-besaran di saat seperti ini.
Berbicara tentang banjir, sebenarnya saya adalah penggemar hujan kelas berat. Tapi belakangan hari ini saya kesal karena genangan air selalu membuat sepatu dan kaus kaki saya basah. Bahkan sepatu pink kesayangan saya sudah hampir lepas solnya karena tergerus air hujan. Huf.
Baca juga: Begini Cara Mudah Menabung Emas
Dengan gontai saya berjalan ke rak sepatu dan mendapati kaus kaki saya tidak ada disana. Saya berbalik menuju lemari pakaian dan sama sekali tidak menemukan kaus kaki. Semuanya masih basah sisa liputan banjir kemarin sore. Saya menggerutu dalam hati. Memaki diri sendiri yang selalu lupa membawa sandal jepit saat liputan banjir. Setengah hati, saya lalu memakai sepatu pink (si sepatu favorit) tanpa kaus kaki. Pilihannya hanya dua: meng-hairdryer kaus kaki sampai benar benar kering atau memakai sepatu tanpa kaus kaki. Saya lebih memilih opsi kedua sambil mengingat efisiensi waktu dan penekanan produser ketika sedang kesal dalam kalimat “managemen waktu”.
Seharian itu saya benar benar merasa tidak nyaman. Walau akhirnya saya tidak jadi liputan banjir (dan lagi-lagi lupa bawa sandal jepit), tapi tetap saja kaki rasanya tidak nyaman dan lecet-lecet. Saya baru sadar kehilangan hal kecil yang belum pernah disadari sebelumnya (kaus kaki) ternyata sangat menyebalkan. Saya baru merasakan nyamannya berjalan dibalut kaus kaki bersih justru ketika saya sedang tidak mengenakannya. “Dinginnya” Jakarta langsung menusuk jari kaki saya yang lecet. Jalan cepat menuju kantor karena takut kesiangan membuat kaki saya berkeringat. Membuka sepatu di ruang ingest karena ada beberapa file yang corrupt menyebarkan aroma tidak sedap mencuat ke penjuru ruangan. Sial, saya butuh kaus kaki bersih!!
Baca juga: Definisi Bahagia
Tiga bulan di Jakarta, pikiran saya seperti di-reset ulang. Rasanya saya tidak berbeda jauh dengan robot-robot Ibu Kota, yang hidup tertata untuk sesuatu yang tak bisa dirasakan. Senyum yang hambar, jalan yang cepat, mimpi yang dihantui deadline… Saya sudah membaur dengan segerombolan pekerja yang menyebrang di lampu merah itu. Rasanya ada yang hampa, ada yang hilang, ada yang salah. Hingga kini saya belum tahu apa hal itu, tapi rasanya seperti kehabisan kaus kaki bersih.
Saya tidak ingin menjadi robot. Saya punya detak jantung yang masih berdetak normal, saya punya mimpi yang menunggu untuk diwujudkan, saya punya senyum untuk menggambarkan suasana hati… yang tidak saya punya hanya waktu. Waktu untuk diri sendiri, waktu untuk merenung apa yang sebenarnya saya lakukan, juga waktu untukNya yang sering terlewatkan.
Baca juga: A Leader’s Perspective
Apakah perjuangan ini akan berbuah manis ketika saya kehabisan sepasang kaus kaki bersih?
Entahlah…