Ucok berdiri dibawah tiang bendera. Matahari bersinar terik diatas kepala anak sepuluh tahun itu hingga bayang-bayangnya tak nampak karena dimakan telapak kakinya sendiri. Kaki, huh. Ucok menatap ke bawah. Tangan kanannya masih dimirigkan 45derajat sementara matanya memandang kakinya lekat-lekat. Sepatu putih. Karena sepasang alas kaki inilah dirinya dihukum berdiri sambil hormat dibawah tiang bendera.
Ini hari senin, semua murid wajib memakai sepatu warna hitam untuk upacara.
Ucapan Pak Kepala Sekolah masih terngiang-ngiang di benaknya. Ucok kesal. Toh bukan kemauannya jika sepatu warna hitam, satu-satunya yang ia miliki malah mengibarkan bendera putih tanda halusinasi yang berarti minta ampun untuk tidak dipakai lagi. Solnya megap-megap kehabisan lem, bagian depannya jebol karena dipaksa mengikuti panjang kaki Ucok yang terus bertambah, warna sepatu itu pun bahkan bukan hitam: hitam kekuningan, luntur karena sering dipakai.
Ini adalah bukti, simbol Negara kita, Indonesia. Hasil jerih payah para pahlawan yang rela mengorbankan harta nyawanya demi kemerdekaan Indonesia. Merah berani! Putih suci!
Ucapan guru Sejarah pun masih terngiang di benak Ucok. Ucok mencoba berlapang dada. Pahlawan mengorbankan segalanya untuk mengibarkan bendera ini. Ia tidak boleh mengeluh hanya karena berdiri satu jam ditengah teriknya matahari hanya karena warna sepatu.
Ucok masih terus berdiri memakai sepatu putih.
Untuk semua yang selalu membenci upacara. Kenapa?