Semuanya kelihatan menyebalkan ketika emosi memuncak. Dimulai dari kelelahan dan tidur sehabis sahur, lantas mendapati printer yang tintanya kering. Berlari menuju kampus dengan semangat tinggi setelah sebelumnya singgah mencarai tempat print. Sampai telat satu jam di mata kuliah dosen yang paling killer. Tapi terimakasih buat teman saya, Monik, yang melobi si dosen sehingga saya bisa masuk kelas.
Mata perih dan memerah. Airmata bisa menetes kapan saja. Tapi saya masih merasa kuat menahan sesuatu untuk titik tertentu. Kesal, marah, tapi entah pada siapa. Mungkin pada diri sendiri. Ya, karena saya selalu membenci diri sendiri.
Pikiranpun melantur. Tapi kapan saya pernah fokus terhadap sesuatu? Jadi saya memutuskan untuk bersembunyi. Rencananya saya akan berlari, jauh. Tapi saya ditemukan kembali, dan harus terjebak dalam kejenuhan tingkat tinggi. Lagi.
Dan mengapa saya harus berpura-pura? Kapan saya harus sadar kalau hidup bukan sekedar membahagiakan orang lain? Kapan rencana yang saya buat dapat berjalan lancar?
Karena tidak akan pernah ada yang memahami. Sepertinya saya memiliki kesulitan berbicara. Ikatan otak dan mulut saya terputus. Biarlah hanya Tuhan yang tahu, karena Dia akan selalu tahu.